8 PELAJARAN DAKWAH DALAM KISAH NABI YUSUF
Sayyid Qutb menyatakan dalam
tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an, bahwa satu-satunya surah yang Allah
turunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pada masa-masa
sulit dalam sejarah dakwah dan kehidupannya, adalah surah Yusuf. Surah ini
diturunkan antara ‘amul huzni (tahun duka cita karena kematian Abu
Thalib dan Khadijah) dan antara baiat Aqabah pertama yang dilanjutkan dengan
Baiat Aqabah kedua. Pada saat itu selain mengalami kesedihan karena ditinggal
dua orang yang menjadi sandarannya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
juga mengalami kesedihan akibat pengasingan dan keterputusan hubungan di
tengah-tengah masyarakat Quraisy.
Maka Allah menceritakan kepada
Nabi-Nya yang mulia ini kisah Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim, yang juga
mengalami berbagai macam ujian dan cobaan. Yaitu ujian berupa tipu daya dari
saudara-saudaranya, dimasukkan ke dalam sumur dengan penuh rasa takut. Kemudian
menjadi budak yang diperjual belikan dari satu tangan ke tangan yang lain,
dengan tidak ada perlindungan dari orang tua dan keluarganya. Setelah itu ia
diuji dengan tipu daya dari istri penguasa Mesir. Selanjutnya ia diuji dengan
dimasukkan ke dalam penjara setelah sebelumnya hidup dalam kelapangan dan
kemewahan di istana sang penguasa.
Setelah diuji dengan kepahitan,
berikutnya Yusuf diuji dengan kemakmuran dan kekuasaan yang mutlak ditangannya,
mengatur urusan pangan dan perekonomian masyarakat. Akhirnya ia diuji berupa
rasa kemanusiaan dalam menghadapi saudara-saudaranya yang dahulu telah
memasukkannya ke dalam sumur dan merekalah yang menjadi sebab bagi ujian-ujian
dan penderitaan dalam hidupnya.
Semua ujian dan cobaan itu dihadapi
Yusuf dengan sabar sambil terus mendakwahkan Islam dari celah-celahnya. Pada
akhirnya ia dapat lepas dari semua ujian dan cobaan itu.
Surah ini, kata Sayyid Qutb,
bertujuan untuk menyenangkan, menghibur, dan menenangkan serta memantapkan hati
orang terusir, terisolir, dan menderita, yakni Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Didalamnya diisyaratkan tentang
berlakunya sunnah Allah ketika para rasul sudah merasa putus asa menghadapi
kaumnya, bahwa akan ada jalan keluar yang membawa kepada kegembiraan yang
didambakan setelah sekian lama mengalami ujian dan cobaan.[1]
Ahsanul Qasasi
Surah Yusuf disebut oleh Allah Ta’ala
sebagai ahsanul qasasi (kisah yang paling baik), karena di
dalamnya banyak mengandung ‘ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang
mempunyai akal.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf, 12: 111).
Secara khusus surah ini pun menjadi
bekalan yang sangat berharga bagi harakah Islamiyah di masa kini untuk
menyiapkan kesabaran di atas kesabaran dalam mengarungi kehidupan, terlebih
lagi dalam mengarungi kehidupan perjuangan di jalan Allah.
Sedikitnya ada delapan pelajaran
berharga yang dapat kita ambil dari surah Yusuf ini,
Pertama, pelajaran tentang perlunya mewaspadai kaum pendengki dengan
cara merahasiakan berita yang mungkin dapat mengusik mereka.
Ucapan Ya’qub kepada Yusuf yang
dimuat dalam ayat 4 – 5 menggambarkan hal ini:
(Ingatlah), ketika Yusuf Berkata
kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas
bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” Ayahnya berkata:
“Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu,
maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Ya’qub
mengkhawatirkan Yusuf akan menceritakan mimpinya kepada salah seorang
saudaranya, padahal mimpi itu dapat menimbulkan kedengkian diantara mereka,
karena takwil mimpi itu menggambarkan ketundukan, penghormatan, pengagungan,
dan pemuliaan mereka kepada Yusuf dengan berlebihan hingga mereka tersungkur
sambil bersujud.
Ayat ini memberikan pelajaran kepada
harakah Islamiyah untuk berhati-hati dalam menyampaikan materi dakwah.
Tidak semua berita harus diberitakan segera. Tidak semua ilmu harus disampaikan
segera. Adakalanya berita-berita harus ‘disembunyikan’ untuk menghindarkan diri
dan jama’ah dari kemudharatan yang mungkin timbul. Apalagi kaum pendengki
senantiasa mencari celah untuk menghantam dan melemahkan harakah Islamiyah.
Islam bahkan mengajarkan,
kadang-kadang bukan hanya ‘berita buruk’ saja yang harus disembunyikan, tetapi
juga ‘berita baik’.
Masih ingat kisah Abu Hurairah dan
sandal Rasulullah? Perhatikanlah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini:
Suatu hari Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam memberikan sandal beliau kepada Abu Hurairah seraya
berkata, “Hai Abu Hurairah, pergilah kamu, bawa sandalku ini. Lalu, siapa
saja yang kamu temui di balik tembok ini, yang telah menyatakan
bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah, dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka
berilah kabar gembira kepadanya, dia akan masuk surga.”
Maka yang pertama-tama ditemui Abu
Hurairah ialah Umar bin Khattab. Dia bertanya, “Apa maksud sepasang sandal
ini, Hai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Ini sandal Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menyuruh aku membawanya (dengan pesan),
siapa saja yang aku temui telah menyatakan, bahwasanya tiada Tuhan melainkan
Allah dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka aku beri kabar gembira, dia bakal
masuk surga.”
Mendengar hal itu, tiba-tiba Umar
menghantamkan tangannya ke dada Abu Hurairah sampai ia jatuh terduduk, seraya
berkata, “Kembali, hai Abu Hurairah!”. Maka Abu Hurairah pun kembali
menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setengah menangis,
sementara Umar membuntutinya.
“Kenapa kamu hai Abu Hurairah?” Tanya Rasul kepada Abu Hurairah. Ia menjawab, “Saya
bertemu Umar, lalu saya beritahu dia apa yang telah tuan perintahkan kepadaku,
tapi tiba-tiba dia memukul dadaku sampai aku jatuh terduduk, seraya menyuruh
aku kembali.”
“Hai Umar,” Rasul bertanya kepada Umar, “Kenapa kamu melakukan
seperti ini?”
Umar menjawab, “Ya Rasulullah,
aku tebus engkau dengan ayah bundaku, benarkah engkau menyuruh Abu Hurairah
membawa sandalmu (dengan berpesan), barangsiapa yang dia temui telah menyatakan
tiada Tuhan melainkan Allah dengan sepenuh keyakinan hatinya, maka dia beri
kabar gembira bakal masuk surga?”
“Benar,” jawab Rasul. Maka Umar menyarankan, “Jangan lakukan itu.
Karena saya benar-benar khawatir orang-orang akan mengandalkan kata-kata itu
saja. Sebaiknya, biarkanlah mereka beramal.” Akhirnya Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Kalau begitu, biarkan mereka.”
Dari hadits ini kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa realita pemahaman masyarakat kadang-kadang mengharuskan kita
untuk sabar dan tidak tergesa-gesa dalam melaksanakan tahapan ini atau itu
dalam berdakwah.
Kita hendaknya menyampaikan dakwah
hanya kepada orang yang telah siap mendengarkan dan menghargainya serta
memahami di mana posisi dari perkara yang diserukan dalam Islam secara
keseluruhan.
Sudah seharusnya pula kita
menyampaikan dakwah pada saat yang tepat, pada tempat dan kerangka yang bisa
memperjelas hakekat dan arti sebenarnya dari perkara yang diserukan tersebut,
serta dapat menghilangkan keraguan yang mungkin terjadi. Jangan sampai dakwah
menimbulkan kesalahfahaman orang terhadap sistem Islam, karena ada
masalah-masalah yang baru bisa difahami setelah memahami dulu masalah-masalah
lainnya.
Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam menyetujui pandangan Umar untuk mencegah tersebarnya kabar gembira
seperti di atas di kalangan orang banyak saat itu. Meskipun akhirnya Abu
Hurairah menyampaikan juga hadits ini, tentu saja ketika dia tahu telah tiba
saatnya yang tepat bagi kaum muslimin untuk memahaminya secara tuntas.[2]
Kembali lagi pada masalah
kewaspadaan terhadap kaum pendengki, dalam ayat ini pun di isyaratkan bahwa
kaum pendengki itu tidak selalu berasal dari kalangan eksternal, tapi mungkin
juga datang dari kalangan internal.
Walaupun memiliki hubungan darah,
saudara-saudara Yusuf ternyata merasa cemburu, iri, dan dengki, sehingga tega
merencanakan makar dengan didasari kepentingan yang sama. Mereka merekayasa
tipu daya, kebohongan, bersandiwara, dan mengajukan bukti-bukti palsu demi
untuk memuaskan kedengkian mereka kepada Yusuf. Bahkan saking dengkinya,
diantara saudara-saudara Yusuf ada yang mengusulkan upaya pembunuhan terhadap
Yusuf. (lihat: surah Yusuf ayat 8 – 18).
Kedua, pelajaran tentang pentingnya menghadirkan kesabaran dalam
menghadapi makar musuh.
Di jalan dakwah ini, seorang aktivis
harus memiliki kesiapan mental untuk menghadapi makar para pendengki dan musuh
dakwah. Karena makar itu adakalanya mencoreng kehormatan dan menjadikan mereka
terhina. Namun yakinilah, selama mereka ikhlash dalam melangkah, Allah Ta’ala
akan senantiasa membimbing dan menolongnya. Apalagi cobaan itu hanyalah
untuk sementara waktu saja sifatnya.
Kisah dalam surah Yusuf mengajarkan
bahwa harus ada kesabaran di atas kesabaran dalam menghadapi ujian dan cobaan.
Yusuf setelah dimasukkan ke dalam sumur dan dipungut oleh kafilah dagang,
dijadikan budak belian yang begitu terhina. Bahkan di ayat 20 disebutkan,
beliau dijual dengan harga yang murah,
“Dan mereka menjual Yusuf dengan
harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik
hatinya kepada Yusuf.”
Sesungguhnya kesabaran itu akan
menggiring kita pada kebangkitan. Makar para pendengki kadang menjadi
kesempatan bagi para da’i untuk mengkonsolidasikan kekuatan. Ia menjadi wahana tarbiyah
rabbaniyyah dalam rangka mematangkan kesiapannya mengarungi medan yang
lebih luas.
Lihatlah Yusuf, karena kesabarannya
kemudian Allah menyiapkan untuknya seorang pembeli dari Mesir yang akan
memperhatikan dan memuliakannya. Yusuf ditempatkan oleh Allah di negeri Mesir
lalu dikuatkanlah ia dengan hikmah dan ilmu, “…dan agar kami ajarkan
kepadanya ta’bir mimpi. dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. Dan tatkala dia cukup dewasa,
kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. (QS. Yusuf, 12: 22).
Tentang ayat ini Sayyid Qutb
berkata, “Inilah Yusuf! Saudara-saudaranya menghendaki sesuatu terhadapnya,
tetapi Allah menghendaki sesuatu yang lain untuknya. Karena Allah itu berkuasa
atas segala urusan-Nya. Sedangkan saudara-saudara Yusuf, mereka tidak berkuasa
atas urusan mereka sehingga Yusuf dapat lepas dari tangan mereka dan bebas dari
apa yang mereka kehendaki terhadapnya…”
Jadi, makar kaum pendengki kadang
malah jadi penghantar menuju kemenangan dan kemuliaan dari Allah. Makar yang
mereka rencanakan dijadikan jalan oleh Allah untuk menggenapkan
rencana-rencana-Nya.
“Dan merekapun merencanakan makar
dengan sungguh-sungguh dan kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak
menyadari.” (QS. An-Naml, 27: 50)
Allahu Akbar wa lillahil hamd!
Ketiga, pelajaran tentang kesadaran akan keniscayaan ujian yang akan
datang silih berganti.
Karena ujian adalah sunnatullah yang
pasti berlaku dan tidak mungkin dihindari.
Di jalan dakwah ini para da’i pasti
mengalami ujian berupa hambatan, rintangan, dan godaan. Semuanya akan datang
berturut-turut silih berganti. Yusufpun mengalami hal itu. Setelah sejenak
bernafas lega dapat tinggal di istana, datanglah godaan menghampirinya: godaan
wanita!
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf
tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan
dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata: ‘Aku
berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’
Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan
perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan
wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar
kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu
termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (QS. Yusuf, 12: 23 – 24)
Namun dengan bekal keimanan, Yusuf
mampu menghindarkan dirinya dari perbuatan tercela itu. Ayat ini tidaklah
menunjukkan bahwa Yusuf. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu
(Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besarnya sehingga andaikata dia tidak
dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu dia jatuh ke dalam
kemaksiatan.
Potongan ayat ini menamkan pelajaran
yang berharga kepada para pengemban dakwah, bahwa mereka harus selalu waspada
pada setiap godaan dunia. Mereka harus selalu memperkuat sikap ihsan. Jangan
sampai mengalami disorientasi dalam kehidupan. Dengan demikian mereka perlu
melakukan tazkiyatu nafs secara berkesinambungan agar tidak mudah
tergoda dunia.
Penolakan Yusuf tersebut ternyata
berbuntut panjang. Wanita penggoda Yusuf itu menimpakan kecelakaan berikutnya
dengan melemparkan tuduhan keji kepadanya. Jadilah Yusuf tertuduh.
“Dan keduanya berlomba-lomba menuju
pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan
kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata:
‘Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan
isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?’ (QS. Yusuf, 12: 25)
Inilah konsekwensi sikap konsisten
pada kebenaran. Bersiaplah dengan fitnah-fitnah yang akan datang. Bersabarlah.
Bertahanlah dalam kebenaran. Allah pasti menolong hambanya yang berpegang teguh
pada kebenaran dalam situasi sesempit apa pun.
Lihatlah Yusuf, dalam keadaan
terpojok dengan tuduhan keji dan berusaha membela diri, ternyata Allah berkenan
membelanya dengan cara mendatangkan orang-orang yang adil dan bersikap
objektif. Bahkan orang yang menjadi pembela tersebut berasal dari lingkungan
keluarga wanita penuduh itu sendiri.
“Yusuf berkata: ‘Dia menggodaku
untuk menundukkan diriku (kepadanya)’, dan seorang saksi dari keluarga wanita
itu memberikan kesaksiannya: ‘Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu
benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak
di belakang, Maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang
benar.’ (QS. Yusuf, 12: 26-27).
Yusuf kemudian diminta merahasiakan
kejadian yang memalukan itu (lihat: ayat 29). Tetapi tetap saja berita itu
tersebar luas di masyarakat. Meskipun ia tidak bersalah, namun gosip itu tetap
saja membuatnya tidak nyaman.
“Dan wanita-wanita di kota berkata:
‘Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya),
Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya
kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.’ (QS. Yusuf, 12: 30).
Gosip-gosip tidak sedap adalah
bentuk lain dari ujian dan cobaan. Setiap da’i harus menghadapinya dengan
sabar. Kadang ada segelintir orang yang merekayasa gosip-gosip tidak sedap itu,
bahkan sampai pada upaya pemutarbalikan fakta. Inilah yang terjadi kepada
Yusuf.
“Kemudian timbul pikiran pada mereka
setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus
memenjarakannya sampai sesuatu waktu.”
(QS. Yusuf, 12: 35)
Tentang ayat ini Ibnu Katsir berkata,
“Mereka memenjarakannya (Yusuf) setelah tersiar berita yang mengesankan
seolah-olah Yusuflah yang merayu istri Al-Aziz.”
Begitulah, ujian datang
bertubi-tubi. Yusuf kemudian dipenjara, meskipun ia tidak bersalah. Ruang
geraknya dibatasi demi melindungi aib istri pejabat yang tengah terpikat dan
bergelora cintanya. Yusuf tetap bersabar. Di satu sisi ia pun bersyukur karena
Allah telah mengabulkan do’anya,
“Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku
sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan
dari padaku tipu daya mereka, tentu Aku akan cenderung untuk (memenuhi
keinginan mereka) dan tentulah Aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf, 12: 33).
Ya, penjara baginya lebih baik
daripada terganggu oleh godaan wanita yang tetap bernafsu untuk menundukkannya
(lihat: ayat 32).
Keempat, pelajaran tentang dakwah yang tidak kenal henti.
Dalam situasi sesulit apa pun, dan
kondisi yang sempit, dakwah tetap harus dikobarkan.
Bersama Yusuf masuk pula ke dalam
penjara dua orang pemuda. Keduanya meminta kepada Yusuf untuk
mentakwilkan mimpi mereka, “Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur.” dan
yang lainnya berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi membawa roti di atas
kepalaku, sebahagiannya dimakan burung.” Dua orang pemuda itu adalah
pelayan-pelayan raja; seorang pelayan yang mengurusi minuman raja dan yang
seorang lagi tukang buat roti.
Perhatikanlah bagaimana Yusuf
memanfaatkan kesempatan itu untuk menyampaikan dakwahnya,
“Yusuf berkata: ‘Tidak disampaikan
kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah
dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang
demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku.
Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian.
Dan aku pengikut agama bapak-bapakku
yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi)
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia
Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia
tidak mensyukuri (Nya).
Hai kedua penghuni penjara, manakah
yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi
Maha Perkasa
Apa yang kamu sembah selain Dia
hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah
kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf, 12: 37- 40).
Ayat ini menggambarkan kepiawaian
Yusuf dalam berkomunikasi. Sayyid Qutb berkata, “Tampak sekali metode
pembicaraan Yusuf yang halus dalam memasuki jiwa orang tersebut. Tampak pula
kecerdasan dan kecerdikannya di dalam mengungkapkan kalimat yang halus dan
lembut.”
Mula-mula Yusuf menenangkan mereka
dengan mengatakan bahwa dia akan mentakwilkan mimpi mereka. Karena Tuhannya
telah mengajarinya ilmu. Namun dengan kepiawaiannya Yusuf mulai menggiring
pembicaraan untuk mengenalkan ajaran tauhid yang diyakininya. Setelah seruannya
selesai, barulah ia menjelaskan takwil mimpi yang diminta kedua temannya itu.
Sayyid Qutb kembali berkomentar, “Ini
merupakan cara masuk yang halus…selangkah demi selangkah…penuh kehati-hatian
dan lemah lembut…Kemudian ditanamkan ke dalam hati mereka lebih banyak dan
lebih banyak lagi. Dan dijelaskanlah kepada mereka akidahnya dengan
sejelas-jelasnya, Disingkapkannya kerusakan akidah mereka dan kaum mereka,
serta keburukan realitas kehidupan yang mereka jalani…”
Kisah Yusuf di atas mengajarkan
kepada para da’i, bahwa dalam kondisi apa pun dakwah harus tetap dijalankan.
Tak kenal henti. Ayat-ayat di atas mengisyaratkan pula bahwa para da’i harus
memiliki visi yang jelas dalam dakwahnya; memiliki target dan memahami
prioritas dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan para mad’u.
Ditegaskan di dalam kisah ini bahwa
prioritas dakwah adalah seruan kepada tauhid. Kisah Yusuf mengajarkan kepada
para da’i untuk tidak terjebak atau membatasi diri pada hal-hal populis
dalam seruan dakwahnya, sementara lupa pada misi utama yang diembannya.
Satu hal lagi yang diajarkan dalam
ayat-ayat ini, bahwa upaya-upaya untuk keluar dari kesempitan harus terus
dilakukan. Yusuf melakukan hal itu dengan meminta kepada temannya untuk
menyampaikan hal dirinya kepada Raja Mesir. Hal ini diharapkan dapat menjadi
jalan kebebasannya.
“Dan Yusuf Berkata kepada orang yang
diketahuinya akan selamat diantara mereka berdua: ‘Terangkanlah keadaanku
kepada tuanmu.’ Maka syaitan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf)
kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun
lamanya.” (QS. Yusuf, 12: 42).
Kelima, pelajaran tentang pentingnya para da’i memiliki keunggulan
ilmu.
Keunggulan ilmu, mutlak dibutuhkan
oleh para da’i. Dengan keunggulan itu mereka dapat memberi dan menawarkan
solusi kepada umat. Begitulah kisah Yusuf mengajarkan kepada kita. Saat Raja
dibingungkan oleh mimpinya yang aneh Yusuf kemudian mampu menjelaskannya. Ia
dapat memprediksi masalah-masalah yang akan menimpa masyarakat dan sekaligus
mampu memberikan solusinya (lihat: ayat 43 – 49).
Ayat-ayat ini harus menjadi renungan
bagi para da’i masa kini. Sudahkah mereka mampu memberi dan menawarkan solusi
pada masyarakat?
Harus difahami bahwa pekerjaan da’i
hendaknya tidak hanya terbatas pada urusan perbaikan akidah dan ibadah.
Kontribusi mereka hendaknya tidak terbatas pada urusan moral semata. Di dalam
kisah ini Allah menyampaikan pesan, bahwa seorang da’i pun harus mampu
berbicara tentang ‘masalah dunia’ yang ada dalam realita masyarakat.
Oleh karena itu jama’ah dakwah hari
ini, harus mampu menghimpun bibit unggul, menyiapkan iron stock, sebagai
upaya turut serta dalam memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi
masyarakat.
Keenam, pelajaran tentang perlunya
melakukan upaya rehabilitasi citra dakwah.
Ayat 50 – 53 surah ini
menginformasikan bagaimana upaya Yusuf merahabilitasi nama baiknya. Ia telah
digosipkan melakukan rayuan kepada majikannya untuk berbuat serong sehingga ia
dipenjara. Saat Raja memanggilnya menghadap, Yusuf menolak, ia meminta terlebih
dahulu agar Raja melakukan penyelidikan terhadap kasus yang dituduhkan
kepadanya. Dengan upayanya itu, tersingkaplah kebenaran. Nama baiknya kembali
pulih. Wanita penggoda Yusuf mengakui kesalahannya.
Sikap Yusuf seperti itu dipuji oleh
Rasaulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena hal itu menunjukkan
keutamaan dan kesabaran Yusuf. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لَوْ كُنْتُ أَنَا لأَسْرَعْتُ الإِجَابَةَ, وَمَا ابْتَغَيْتُ
العُذْرَ (رواه احمد)
“Jika yang dipenjara itu aku,
niscaya aku akan bergegas memenuhi ajakan utusan itu dan tidak akan meminta
alasan.” (HR. Ahmad).[3]
Pelajaran yang dapat diambil dari
kisah ini adalah perlunya para da’i mengupayakan rehabilitasi atas citra buruk
yang disematkan musuh-musuh kepada dirinya dan dakwah. Mereka harus berupaya
menutup celah-celah yang mungkin dimanfaatkan oleh para pendengki di kemudian
hari.
Citra yang baik sangat dibutuhkan
dalam dakwah. Karena ia dapat melahirkan kepercayaan dan dukungan.
Ketujuh, pelajaran tentang kesiapan
para da’i berkontribusi dan memikul tanggung jawab kenegaraan.
Saat Raja meminta Yusuf untuk
membantu pemerintahannya, Yusuf menawarkan diri untuk mengisi jabatan
bendaharawan negara. Hal ini disebutkan dalam ayat 54 – 55,
“Dan raja berkata: ‘Bawalah Yusuf
kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku’. Maka tatkala
raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai)
hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi
kami’.
Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga,
lagi berpengetahuan’.
Sayyid Qutb menjelaskan bahwa Yusuf
hanya meminta jabatan yang diyakininya dapat mengatasi krisis di masa depan.
Jabatan yang diyakininya akan melindungi orang-orang dari kematian, melindungi
negara dari kehancuran dan kelaparan.
Yusuf tidak meminta kedudukan demi
kepentingan diri sendiri, sesungguhnya tugas mencukupi kebutuhan makanan suatu
bangsa yang dilanda kelaparan selama tujuh tahun berturut-turut, tidak seorang
pun mengatakannya sebagai keberuntungan. Sesungguhnya tugas ini merupakan beban
yang dihindari oleh setiap orang.[4]
Point ketujuh ini memperkuat apa
yang sudah dijelaskan sebelumnya pada point kelima, bahwa para da’i harus
memiliki keunggulan ilmu, dengan begitu ia akan mampu memberikan kontribusi dan
siap memikul tanggung jawab (qudratu ‘ala tahammul) demi kemaslahatan
masyarakat.
Ayat ini mengisyaratkan sekali lagi
kepada para da’i, hendaknya mereka mempersiapkan diri dan tidak segan menjadi
pengelola negeri. Mengemban tugas negara untuk memberikan kebaikan kepada
masyarakat secara luas, tanpa melihat latar belakang mereka, apa pun suku,
agama, dan ras mereka. Karena tugas kita adalah beramal saleh, menebarkan
seruan Islam, dan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Allah tidak menuntut
kita untuk berhasil secara total mengislamkan masyarakat seluruhnya, walaupun
itu harus kita upayakan dengan keras. Urusan hidayah adalah urusan Allah
semata.
Itulah yang dilakukan Yusuf di
negeri Mesir. Ia berkontribusi, beramal, dan berusaha menyelamatkan masyarakat
dari kelaparan; menyelamatkan negara dari kehancuran. Agama raja dan
masyarakatnya yang jauh dari tauhid, tidak menghalanginya untuk menebarkan
kebaikan. Tentu saja dengan kekuasaannya, Yusuf terus berusaha menyeru
masyarakatnya kepada tauhid, tetapi sekali lagi, urusan hidayah adalah urusan
Allah. Al-Qur’an bahkan menyebutkan bahwa Yusuf ‘gagal’ menjadikan
masyarakatnya menjadi masyarakat Islam secara menyeluruh.
Allah mengungkapkan hal ini dengan
firman-Nya,
“Dan sesungguhnya Telah datang Yusuf
kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam
keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu
berkata: ‘Allah tidak akan mengirim seorang (rasulpun) sesudahnya.’ Demikianlah
Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu.” (QS. Mu’min, 40: 34)
Ini adalah kalimat yang disampaikan
anak paman Fir’aun yang beriman kepada Nabi Musa. Ia menyatakan ini untuk
mengingatkan Fir’aun tentang ajaran tauhid yang pernah diserukan di negeri
Mesir dahulu kala.[5]
Jadi, Yusuf telah mengajak
mereka beriman dan memberikan bukti-bukti kerasulannya yaitu ajaran-ajaran
tentang iman kepada Allah dan berbuat baik, serta mu’jizat-mu’jizat yang
diberikan Allah kepadanya. Akan tetapi mereka tetap tidak mau percaya
kepadanya. Mereka hanya mematuhinya sebagai seorang menteri atau pembesar
negara.[6]
Kenyataan seperti ini menjadi
penegasan kepada para da’i bahwa mereka berdakwah semata-mata karena Allah.
Mereka berkontribusi dan berbuat kebaikan kepada negara semata-mata karena
ibadah kepada-Nya. Jihad siyasi yang dilakukan saat ini adalah sebuah ikhtiar
agar mereka mampu beramal lebih banyak dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa
Islam itu rahmatan lil ‘alamin.
Kedelapan, pelajaran tentang
keharusan berbuat baik dan memaafkan kesalahan kaum pendengki.
Ayat 58 – 101 surah ini mengisahkan
episode terakhir kisah Yusuf. Bagaimana Yusuf setelah diberikan kedudukan yang
mulia mampu menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Bahkan ia tidak hanya
memberikan manfaat kepada rakyat Mesir saja, akan tetapi meluas sampai ke
negeri-negeri di sekitarnya.
Disini diceritakan bahwa
saudara-saudara Yusuf dari negeri tetangga datang memohon pertolongan.
Disinilah Yusuf diuji kembali kesabarannya. Apakah ia tetap sabar atau
melampiaskan kemarahannya atas perilaku zalim saudara-saudaranya itu
sebelumnya?
Yusuf ternyata memilih untuk
bersabar, berbuat baik, dan memaafkan saudara-saudaranya itu.
Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini
tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan dia
adalah Maha Penyayang diantara para penyayang”. (QS. Yusuf, 12: 92).
Begitulah seharusnya seorang mu’min.
Begitulah seharusnya para pengemban dakwah bersikap. Kelak ketika mereka
diberikan kemuliaan oleh Allah, memiliki kekuasaan dan kehormatan, ia mampu
tetap berbuat baik dan memaafkan orang-orang yang pernah mendengki dan
mencelakakannya.
Itu pula yang dilakukan Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam saat melakukan fathu Makkah.
Beliau berseru kepada orang-orang Quraisy, “Wahai orang-orang Quraisy,
menurut kalian, bagaimana tindakanku terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Kebaikan.
Saudara yang mulia. Keponakan yang mulia.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Pergilah kalian. Sekarang kalian adalah orang-orang
yang merdeka.”[7]
Terakhir, marilah kita renungkan
do’a yang dipanjatkan Yusuf kepada Tuhannya,
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau
telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan
kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi.
Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan
Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS. Yusuf, 12: 101)
Demikianlah diantara mutiara-mutiara
hikmah yang dapat digali dari kisah yang terbaik ini. Semoga Allah mencurahkan
hidayah dan bimbingan kepada kita semua dalam mengarungi jalan dakwah. Amin
Ya Rabbal ‘Alamin…
Daftar Bacaan
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid
II, Gema Insani Press.
Terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,
Jilid VI, Sayyid Qutb, Gema Insani Press.
Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu,
Jilid VIII, Kementerian Agama RI.
Fikih Sirah, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Hikmah.
Fikih Harakah, Jamal Sulthon, Cahaya Press.
[1]
Lihat terjemah Fi Zhilalil Qur’an, Gema Insani Press, jilid 6
hal. 301 – 303.
[2]
Lihat: Fikih Harakah, Jamal Sulthon, Hal. 91 – 93, Cahaya Press.
[3]
Lihat: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, Gema Insani Press, hal. 862
[4]
Lihat: Terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid VI, Gema Insani Press,
hal. 366-367
[5]
Para ulama berbeda pendapat tentang nama anak paman Fir’aun ini. Al-Khazin dan
An-Nasafi menyebutnya bernama Sam’an atau Habib, sementara ada yang menyebutnya
bernama Kharbil atau Hazbil. (lihat: Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu,
Jilid VIII, hal. 530).
[6]
Lihat: Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu, Jilid VIII, hal. 536.
[7]
Lihat: Fikih Sirah, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Hikmah, hal. 477.
terima kasih kongsi ea
BalasHapus