Namanya Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari al-Kufi al-Baghdadi,
atau lebih dikenal dengan Abu Yusuf al-Qadhi (w. 182 H). Abu Yusuf adalah salah
seorang murid Imam Abu Hanifah yang sangat brilian. Saking briliannya, dia
pernah menduduki posisi hakim negara pada masa Dinasti Abbasiyah selama tiga
periode berturut-turut, yaitu pada masa Khalifah Muhammad bin Mansur al-Mahdi,
Khalifah Abu Muhammad al-Hadi dan Khalifah Harun al-Rasyid.
Diceritakan bahwa Abu Yusuf adalah seorang ulama yang sangat
sedikit tidur malam. Suatu hari seorang muridnya pernah bertanya, “Wahai Guru,
kenapa Anda tidak tidur?” Abu Yusuf pun menjawab, “Bagaimana mungkin aku bisa
tidur, sedangkan kaum Muslimin bisa tidur nyenyak karena mereka menyerahkan
masalahnya kepadaku?! Jika aku tidur, maka aku telah menghilangkan agama ini
(Islam).”
Bukan hanya itu, bahkan di saat ajal hampir menjeputnya;
ketika Abu Yusuf sudah terbaring lemah tak berdaya, ia masih berusaha
memecahkan sebuah masalah tentang tata cara pelemparan jumrah yang sempat
ditanyakan oleh masyarakat kepadanya. Ibrahim bin al-Jarrah, yang merupakan
murid dekat Abu Yusuf pun keheranan sambil berkata: “Masih sempat-sampatnya
Anda membicarakan masalah itu di tengah kondisi seperti ini?!”
Namun apa jawabannya Abu Yusuf? Dengan tenang ia menjawab,
“Saya tidak mempunyai masalah apa-apa, Ibrahim. Mari kita selesaikan masalah
ini. Semoga dengan ini kita bisa menyelamatkan salah seorang dari kesesatan.”
Tak lama setelah masalah itu terpecahkan, Abu Yusuf pun menghembuskan nafas
terakhirnya.
Abu Yusuf tentu merupakan saeorang ulama sejati, yaitu ulama
yang benar-benar menjadikan Nabi Muhammad sebagai suri tauladan. Jika ulama
adalah ahli waris misi dan fungsi kenabian, maka para ulama sejatinya harus
selalu membawa misi-misi kenabian yang dijiwai oleh nilai tauhid dan
keikhlasan. Sebagai seorang ulama, Abu Yusuf sangat paham bahwa masyarakat
adalah amanah yang kelak akan dipertangung jawabkan di hadapan Allah SWT.
Karena itu, ia selalu berusaha untuk tidak melupakan mereka walaupun di
detik-detik akhir kehidupannya.
Kondisi seperti inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Kepedulian dan kasih sayang Rasulullah terhadap umatnya tidak bisa ditandingi
oleh siapapun, bahkan oleh orang tua kita sendiri. Ketika beberapa sahabat
non-Quraisy kesulitan membaca al-Quran dengan bahasa Quraisy, Rasulullah
memohon kepada Allah untuk memberikan keringanan, hingga akhirnya al-Quran
diturunkan dalam tujuh bahasa. Di saat ajal hampir menjemput, Rasulullah tak
lupa menasehati umatnya untuk selalu menjaga shalat lima waktu. Bahkan pada
detik-detik hembusan akhir nafasnya, bibir suci Nabi Muhammad tak berhenti
berucap, “Ya Rabbi ummati, ummati.”
Seorang ulama, dai atau ustadz bukan sekadar orator yang
ulung. Dia haruslah bisa menjadi sosok panutan, mempunyai kepedulian terhadap
umat, dan mampu menjaga nilai-nilai agama hingga tidak tercampuri dengan
urusan-urusan yang lebih condong bersifat duniawi.
Tulisan ini tak ingin mempermasalahkan acara kontes dai yang
akhir-akhir ini sedang menjamur di Indonesia. Masalah itu menurut saya
masih debatable, karena tergantung bagaimana kita memanfaatkan dan
mengambil nilai positifnya. Yang membuat saya resah adalah munculnya dai-dai
selebritis yang jauh dari kualitas keulamaan. Bukan hanya kualitas keilmuan
agamanya yang di bawah standar pas-pasan, tapi juga karena komersialisasi
dakwah dan perangai buruk yang diperagakan. Sehingga hal itu bukan mendukung
misi dakwahnya, tapi justru menghancurkan nilai-nilai Islam yang didakwahkan.
Kondisi semacam ini tentu sangat berbahaya, karena bisa melahirkan sikap apatis
bahkan kebencian terhadap agama.
Saya tak habis pikir bagaimana bisa seorang dai, ulama,
ustadz, kiyai, atau apapun itu namanya, memasang tarif puluhan juta rupiah
untuk setiap kali memberikan ceramah?! Jika bayaran yang diberikan kurang dari
harga yang dipatok, sang dai tak mau memberikan ceramah. Belum lagi, dai
tersebut juga seperti selebritis yang memiliki manajer, sehingga konsultasi
keagamaan dan lain sebagainya harus melalui manajer tersebut. Dengan demikian,
ikatan antara dai dengan umat seperti ikatan bisnisman dengan pelanggannya,
bukan seperti ikatan antara orang tua dan anak, guru dan murid, atau bahkan
antara Nabi Muhammad dan para sahabat.
Dakwah kemudian bukan menjadi kewajiban atau amanah yang
harus dijalankan dengan keikhlasan, tapi justru dijadikan alat untuk mendulang
uang. Karunia Allah yang menjadikan mereka diterima masyarakat justru
dimanfaatkan untuk mendulang popularitas. Mereka pun kemudian jadi artis
dadakan. Saat muncul di infotainment, bukan nilai-nilai agama atau pengalaman
mereka belajar agama yang menjadi topik wawancara, melainkan tentang rumah
baru, mobil baru, koleksi sepatu baru, sampai motor besar seharga ratusan juta
rupiah. Bahkan kehidupan pribadi mereka pun diekspos seluas-luasnya. Lebih
memprihatinkan lagi, sang dai tak malu-malu menonton bisokop berduaan dengan
wanita yang bukan mahramnya di tengah sorotan kamera.
Tentu tak ada salahnya jika seorang dai mempunyai banyak
harta dan kaya raya, selama kekayaan itu tidak didapatkan dengan cara-cara yang
haram, seperti korupsi, menipu mencuri, dan lain sebagainya. Kekayaan itu
justru bisa dijadikan penunjang aktifitas dakwah, seperti yang dilakukan oleh
Ibunda Khadijah Ra, Abu Bakar al-Shiddiq Ra, dan Utsman bin Affan Ra.. Tapi
secara akal sehat yang paling dangkal pun, sungguh tidak layak bagi seorang dai
atau ustadz yang mengajarkan nilai-nilai luruh agama untuk pamer harta, bahkan
pamer kemesraan seperti layaknya artis sinetron di layar infotainment.
Nabi Muhammad SAW yang seharusnya dijadikan panutan tak
pernah hidup dalam kemewahan, walaupun beliau berkali-kali ditawari untuk
menjadi seorang hartawan. Beliau dikenal sebagai sosok yang bersahaja, pemurah
dan sederhana. Lagi pula, di negara kita masih ada puluhan juta rakyat Indonesia
yang berada di bawah garis kemiskinan dan merasa sangat sulit untuk makan
sekali dalam sehari saja. Bukannya menampakkan kepedulian seperti yang
dilakukan oleh Abu Yusuf di atas, sang dai justru memasang tarif tinggi untuk
bayaran ceramah dan memamerkan harta kekayaannya.
Saya sebenarnya tak ingin berburuk sangka. Namun realita
yang begitu jelas terlihat di depan mata membuat saya prihatin. Mau dikemanakan
arah dakwah kita sekarang? Menjual ayat-ayat Allah untuk keuntungan yang
sedikit (baca: urusan duniawi) adalah tindakan yang sangat dibenci dan dikecam
oleh Allah SWT. “Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang
sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS al-Maidah: 44).
Sungguh, dakwah sejatinya adalah pekerjaan mulia yang
pelakunya dijamin syurga oleh Allah SWT. Kedudukan seorang dai atau ulama
sangat istimewa di hadapan Allah. Mereka adalah para penjaga agama dan pewaris
risalah kenabian. Dalam al-Quran Allah secara tegas berfirman, “Siapakah yang
lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan
amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
menyerah diri’?” (QS Fussilat: 33).
Namun kesuksesan misi dakwah tentu tak bisa lahir dari para
dai yang tak memiliki ruh keikhlasan, apalagi memperjual belikan ayat-ayat
Tuhan. Ruh keikhlasan dan qudwah hasanah, bagaimana pun juga,
adalah modal utama memasuki dunia dakwah. Itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah,
para sahabat, hingga Abu Yusuf al-Qadhi dan ulama-ulama terdahulu lainnya.
Semoga Allah selalu menanamkan benih keikhlasan dan menjauhkan kita dari fitnah
dunia dan kemewahan yang melenakan. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar