Pages

Senin, 28 Januari 2013

Kewajiban Seorang Suami / Ayah




Kewajiban seorang suami/ayah memberi nafkah kepada isteri dan anak-anaknya dan keutamaannya

Kewajiban suami/ayah untuk menafkahkan dirinya, anaknya, serta istrinya
Allah berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
(Al-Baqara: 233)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, :
“Dan kewajiban ayah si anak memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya, dan kesempitannya”
[Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat al Baqarah : 233, disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0;]
Allah berfirman:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَاهُ اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya ”
[ath Thalaq / 65:7]
Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata :
“Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala. Dia menjadikan (kewajiban) setiap orang sesuai dengan keadaannya, dan Dia meringankan dari orang yang kesusaha, sehingga, dalam masalah nafkah dan lainnya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) kemampuannya.”
[Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat ath Thalaq : 7, disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]
Allah berfirman;
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka
(An-Nisaa: 34)
Abu Umamah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ وَلَا تُلَامُ عَلَى كَفَافٍ وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
“Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika kamu mensedekahkan kelebihan hartamu, itu lebih baik bagimu daripada kamu simpan, karena hal itu akan lebih berbahaya bagimu. Dan kamu tidak akan dicela jika menyimpan sekedar untuk keperluan. DAHULUKANLAH MEMBERI NAFKAH KEPADA ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANMU. Tangan yang di atas adalah lebih baik, daripada tangan yang di bawah.”
(HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan isterimu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.”
[HR Ibnu Majah, 2138; Ahmad, 916727; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 1739]
Rasulullah bersabda:
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
Dan mereka (para isteri) memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik)”.
[HR Muslim, no. 1218]
dari Hakim bin Mu’awiyah Al Qusyairi dari [ayahnya], ia berkata; aku katakan; wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang diantara kami atasnya?
beliau bersabda:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ
“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian…”
[HR Abu Dawud, no. 2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan shahih”]
Al Hafizh Ibnul Hajar Al Asqalani berkata,
”Memberi nafkah kepada keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syari’at menyebutnya sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi orang yang bersedekah.
Oleh karena itu, syari’at memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga termasuk sedekah (yang berhak mendapat pahala, Pen). Sehingga tidak boleh memberikan sedekah kepada selain keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi nafkah (yang wajib) bagi keluarga mereka, sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah yang wajib mereka keluarkan (yakni nafkah kepada keluarga, Pen) dari sedekah yang sunnat.”
[Fathul Bari, 9/498; dari almanhaj]
Keutamaan-keutamaannya
Dalam hadits Saad bin Malik diceritakan bahwa Nabi bersabda :
وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya, meskipun engkau memberikan nafkah kepada keluargamu sendiri, engkau tetap memperoleh pahala, sampai sekerat makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.”
(Bukhari)
dari Abu Mas’ud Al Badri dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا أَنْفَقَ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya karena Allah, maka pahala nafkahnya itu sama dengan pahala sedekah.”
(HR. Muslim)
Dalam hadits lain juga disebutkan:
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Harta yang engkau infak-kan di jalan Allah, harta yang engkau infak-kan untuk memerdekakan budak, harta yang engkau sedekahkan untuk orang-orang miskin dan harta yang engkau infak-kan untuk keluargamu, ganjaran yang lebih besar adalah yang engkau infakqan untuk keluargamu”.
(HR. Muslim dan Ahmad)
Allah berfirman:
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Al-Baqara: 261)
Rasulllah bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ
Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat.
(HR. Muslim no. 1151)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَباَئِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا
“Setiap pagi manusia dapat menjual dirinya, apakah ia akan memerdekakan dirinya atau akan membinasakannya.”
(HR. Muslim. Shahih dikeluarkan oleh Muslim di dalam [Ath Thaharah/223/Abdul Baqi])
Dijelaskan oleh Syaikh al ‘Utsaimin:
Setiap pagi manusia pergi, mereka berusaha dan bersusah payah. Di antara mereka ada yang membebaskan dirinya, dan ada pula yang membinasakan dirinya sesuai dengan amalannya. Jika ia melakukan ketaatan kepada Allah dan istiqamah di atas syari’atNya, berarti ia memerdekakan dirinya dari penghambaan setan dan nafsu. Jika keadaannya kebalikan dari hal itu, berarti ia telah mencelakakan dirinya sendiri.
[Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah (http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/10/23/penjelasan-hadits-arbain-imam-an-nawawi-kedua-puluh-tiga-sarana-sarana-kebaikan/) dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL: http: //ulamasunnah.wordpress.com)]
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
غَدْوَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Berpagi hari atau bersore hari fi sabilillah adalah lebih baik daripada dunia seisinya…”
(Bukhariy Muslim)
Dalam hadits Ka’ab bin Ajizzah diriwayatkan bahwa ada seseorang lelaki yang lewat di hadapan Nabi. Para sahabat melihat ada yang menakjubkan pada kulit dan semangatnya. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagus nian apabila keadaannya itu karena berjuang di jalan Allah?”
Rasulullah menanggapi:
إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ
“kalau ia keluar rumah demi menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, berarti ia di jalan Allah (FI SABILILLAH); kalau ia keluar rumah untuk menghidupi ayah ibunya yang sudah tua renta, berarti ia di jalan Allah (FI SABILILLAH); dan apabila ia keluar rumah demi menghidupi dirinya sendiri agar terpelihara, maka ia juga di jalan Allah (FI SABILILLAH). Tetapi kalau ia keluar rumah karena rasa sombong dan membanggakan diri, maka ia berada di jalan setan.”
(At-Thabrani; dishahiihkan (shahiih li ghayrihi) oleh syaikh al-albaaniy dalam at-targhiib dan shahiihul jaami’).
dan harta yang diminta seorang isteri terhadap suami adalah YANG MENCUKUPI kehidupan keseharian bagi keluarga mereka (suami, isteri, dan anak; dan juga biaya pokok lainnya)
dari ‘Aa-isyah ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ كَانَ لَهَا أَجْرُهَا
“Jika seorang isteri bersedekah dari harta suaminya, tanpa menimbulkan kerusakan, maka baginya pahala atas apa yang ia infakkan.
وَلَهُ مِثْلُهُ بِمَا اكْتَسَبَ وَلَهَا بِمَا أَنْفَقَتْ وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“dan bagi suaminya adalah pahala atas jerih payahnya (mencari nafkah), serta bagi bendaharanya pahala seperti pahala tersebut, tanpa mengurangi pahala satu sama lainnya sedikit pun.”
(HR. Muslim)
Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku, Pen) seorang laki-laki yang bakhil. Dia tidak memberi (nafkah) kepadaku yang mencukupi aku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya sedangkan dia tidak tahu”.
Maka beliau bersabda:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut”.
[HR Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714].
Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlaan berkata:
“Apa yang telah lalu ini menunjukkan kewajiban nafkah untuk isteri. Dan nafkah itu diukur dengan apa yang mencukupinya (isteri) dan anaknya dengan ma’ruf (patut, baik, umum).
Jika suami tidak memberi nafkah, sesungguhnya sang isteri berhak mengambil nafkahnya dari harta suaminya, walau tanpa sepengetahuannya, dan hal itu hendaklah dengan ma’ruf.
Dan sepantasnya bagi isteri tidak membebani suaminya dengan banyak tuntutan. Hendaklah dia ridha dengan sedikit (nafkah), khususnya jika suami berada dalam kesusahan dan kemiskinan”.
[Fiqhuz Zawaj, hlm. 130, disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0;]
Jika suami tidak mampu memberi nafkah
Telah kita ketahui bahwa nafkah merupakan hak isteri yang menjadi kewajiban suami. Maka bagaimanakah sikap isteri jika suami tidak mampu memberi nafkah, dan dia tidak memiliki harta yang dapat diambil untuk nafkah? Bolehkah isteri menuntut cerai?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama [Lihat dalil masing-masing pendapat di dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/400-404]:
1). Boleh menuntut faskh (pembatalan aqad nikah).
Demikian ini pendapat jumhur (mayoritas ulama) Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah. Juga diriwayatkan dari Umar bin al Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhum. Juga pendapat Sa’id bin Musayyib, al Hasan al Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan Abu Tsaur.
2). Tidak boleh menuntut faskh, tetapi isteri wajib bersabar.
Demikian pendapat Hanafiyah, yang satu pendapat dengan Imam Syafi’i. Begitu pula Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
3). Tidak boleh menuntut faskh, bahkan isteri yang kaya wajib menafkahi suaminya yang miskin.
Ini pendapat Ibnu Hazm rahimahullah.
Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar –hafizhahullah- berkata:
“Al Hanafiyah (para ulama madzhab Hanafi) membolehkan seorang isteri berhutang atas tanggungan suaminya untuk memenuhi nafkahnya, dalam keadaan suami tidak mampu memberikan nafkah. Sedangkan para fuqaha (para ahli fiqih) tiga madzhab, yaitu : Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat, seorang isteri disuruh memilih antara tetap bersama suaminya dengan kesusahannya, atau berpisah darinya dengan faskh (pembatalan) aqad nikah, dan nafkah bagi isteri tidak wajib atas suaminya selama dia kesusahan”.
[Ahkamuz Zawaj, Penerbit Darun Nafais, hlm. 287-288; disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at Tuwaijiri –hafizhahullah- berkata:
“Jika suami kesusahan memberikan nafkah, pakaian, atau tempat tinggal, atau suami pergi dan tidak meninggalkan nafkah untuk isterinya dan susah mengambil dari hartanya (suami), maka isteri berhak faskh (membatalkan aqad nikah), jika dia berkehendak, dengan idzin hakim (pengadilan agama)”.
[Mukhtashar Fiqih Islami, Penerbit Baitul Afkar ad Dauliyah, hlm. 860; disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]
Tarjih
Setelah memaparkan dalil masing-masing pendapat di atas, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim menyatakan :
“Yang paling nampak (kebenarannya) dari yang telah lalu, adalah pendapat bolehnya perpisahan (isteri menuntut faskh, putus nikah, Pen) dengan sebab ketiadaan nafkah, berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan oleh jumhur.
Terlebih lagi, para sahabat Radhiyallahu ‘anhum telah berpendapat dengannya dan mengamalkannya. Dan karena di dalam pendapat ini menghilangkan kesusahan dari isteri, apalagi jika suami menolak menthalaqnya karena pilihannya (sendiri) atau bersepakat dengan isterinya.
Namun yang lebih utama dan lebih baik, si isteri bersabar terhadap kesusahan suaminya dan mendampinginya, serta membantu semampunya. Adapun dalil-dalil (ulama) yang melarang perpisahan tidaklah kuat melawan dalil-dalil jumhur. Wallahu a’lam”.
[Shahih Fiqih Sunnah, 3/400-404; disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]

0 komentar:

Posting Komentar