Hak Hak Istri Dalam Proses
Perceraian
I.
PENDAHULUAN
Dalam
sebuah hadits Riwayat Al Khatib dari Ans Rasulullah SAW bersabda : Al Jannatu
tahta agdamil ummahati, surga itu di bawah telapak kaki ibu. Dalam riwayat yang
lain diceritakan bahwa seseorang pernah menghadap Rasulullah SAW dan bertanya :
“siapakah orang yang lebih berhak aku layani dengan sebaik-baiknya. Rasulullah
menjawab : “Ibumu”. Kemudian siapa? Tanya orang itu lagi, nabi menjawab
“ibumu”, lalu siapa? “ibumu”. Kemudian siapa lagi : “Bapakmu”.
Alangkah
hebatnya penghormatan yang diberikan ajaran Islam terhadap seorang wanita
sebagai ibu. Penghormatan kepada ayah hanya sepertiga bagian dari penghormatan
yang diberikan kepada ibu sebuah penghormatan yang luar biasa dan istimewa.
Akan
tetapi hal ini sering hanya berhenti pada tataran teoritik. Dalam praktek
sering terjadi perlakuan kekerasan dan pelecehan dari seorang laki-laki (suami)
terhadap seorang perempuan (istri).
Data
statistik pada Ditjen Badilaq MARI tahun 2009 menunjukkan bahwa alasan
perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 1965 kasus dan menyakiti mental
sebanyak 587 kasus. Sedang untuk tahun 2010 sampai dengan bulan Juli, alasan
perceraian karena menyakiti jasmani sebanyak 1312 kasus dan menyakiti mental
218 kasus dan lebih menyedihkan terdapat 61.128 kasus untuk tahun 2009, dan
40.823 kasus (sampai Juli 2010), alasan perceraian karena tidak ada tanggung
jawab.
Sejak
berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, secara normatif
undang-undang telah memberikan jaminan kedudukan yang terhormat dan seimbang
kepada perempuan sebagai istri. Terdapat perubahan signifikan terhadap dominasi
laki-laki (suami) kepada perempuan (istri) dalam kehidupan berumah tangga.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 memberikan hak dan kedudukan seimbang antara
seorang istri dengan seorang suami. Penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 dan angka 4 huruf F menyatakan : “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam
pergaulan masyarakat. Sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam rumah
tangga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri .
Asas-asas
dalam Undang-undang ini, adalah mempersukar terjadinya perceraian, untuk
memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di
depan sidang Pengadilan. Hak untuk menjatuhkan talak tidak lagi menjadi hak
mutlak seorang suami, yang dapat dilakukan kapan saja dia mau, akan tetapi
harus dilakukan di depan sidang pengadilan dengan alasan yang dibenarkan oleh
Undang-Undang, dan juga dengan kewajiban suami untuk memenuhi hak-hak istri
dalam proses perceraian tersebut.
II.
¬HAK-HAK ISTRI DALAM PROSES PERCERAIAN
1.
Adanya hak suami dan istri yang seimbang untuk mengajukan perceraian.
Sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, ada diskriminasi, antara suami dan
istri dalam hak untuk mengajukan perceraian. Suami memiliki hak mutlak untuk
menjatuhkan talak kepada istrinya. Kapan saja suami dapat menjatuhkan talak
tanpa kewajiban apapun kepada istri.
Sementara
istri apabila akan mengajukan perceraian, harus mengajukan gugatan ke
Pengadilan. Dan dengan mengajukan gugatan tersebut, istri akan kehilangan
hak-haknya karena, mengajukan gugatan dianggap perbuatan nusyuz sehingga istri
harus rela kehilangan hak, hanya karena istri mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 Jo Undang-undang nomor 7 tahun 1989, telah merubah keadaan
tersebut, dan memberikan hak yang sama kepada suami atau istri untuk mengajukan
perceraian. Baik suami ataupun istri dapat mengajukan perceraian melalui sidang
Pengadilan. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan dan
harus ada alasan yang ditentukan di dalam Undang-undang yaitu :
-
Suami dapat menceraikan istri dengan mengajukan permohonan cerai talak ke
Pengadilan di tempat kediaman Termohon (Istri) .
-
Sedangkan istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan di tempat
kediaman Penggugat (isteri)
2. Hak
Mengajukan Komulasi
Di
dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 memberikan hak untuk mengajukan gugatan
komulasi. Yaitu istri dapat mengajukan gugatan perceraian secara komulasi
dengan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami
istri, atau dapat diajukan sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Demikian
juga suami dapat mengajukan permohonan talak dikomulasikan dengan permohonan
penguasaan anak, nafkah anak nafkah istri dan harta bersama atau dapat diajukan
setelah pelaksanaan ikrar talak suami kepada istri.
3. Hak
Mut’ah, nafkah idah dalam cerai talak
Dalam
hal perceraian karena permohonan cerai talak suami kepada istri, pasal 149 dan
pasal 158 KHI, dengan tegas mewajibkan suami untuk memberi :
a.
Mut’ah yang layak kepada bekas isteri
b.
Nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah
c.
Melunasi mahar dengan masih terhutang
d.
Biaya hadlonah untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.
Mahkamah
Agung RI dalam putusan kasasi membebankan kwajiban tersebut dalam beberapa
format :
a.
Dalam bentuk Rekonpensi
Dalam
permohonan cerai talak suami di PA, istri mengajukan gugatan Rekonpensi, agar
suami dihukum untuk membayar kwajiban-kwajiban hal dalam pasal 149 dan pasal
158 tersebut. Dalam putusan kasasi nomor 347 k / Ag / 2010, Mahkamah Agung
telah mengabulkan gugatan Rekonpensi dari istri dan memperbaiki putusan PA dan
PTA.
Dalam
pertimbangan MA, menyebutkan bahwa jumlah mut’ah kurang memenuhi rasa keadilan
sehingga jumlah mut’ah suami tersebut harus disesuaikan dengan rasa keadilan.
Sehingga dinaikkan dari Rp. 30.000.000,- menjadi Rp. 70.000.000. Dalam putusan
tersebut Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan Rekonpensi istri berupa :
-
Nafkah, maskan kiswah selama dalam iddah
-
Nafkah madliyah
-
Mut’ah .
b.
Secara ex officio
Mahkamah
Agung telah membuat suatu terobosan dengan mewajibkan suami sekalipun tidak
terdapat gugatan Rekonpensi, dengan membebankan kewajiban secara ex officio
untuk membayar :
-
Mut’ah
-
Nafkah, maskan, kiswah tepat istri selama dalam masa iddah.
- Nafkah
dua orang anak.
Dalam
perkara nomor 410 k/Ag/2010 :
PA :
Telah memberikan izin kepada suami untuk menjatuhkan ikrar talak tanpa
pembebanan kewajiban suami kepada istri.
PTA :
Permohonan tersebut ditolak
MA :
Mengabulkan permohonan suami untuk mengucapkan ikrar talak dan secara ex
officio (karena tidak ada gugatan Rekonpensi) telah membebankan kepada suami
untuk membayar :
-
Mut’ah
-
Nafkah, maskan, kiswah selama dalam iddah
-
Nafkah 2 orang anak.
Pertimbangan
Mahkamah Agung, bahwa dalam perkara ini Pemohon sebagai suami telah mengajukan
permohonan cerai talak dan istri dalam pemeriksaan tidak terbukti berbuat
nusyuz .
4. Hak
Mut’ah dan nafkah iddah dalam Cerai Gugat
Dalam
cerai gugat undang-undang maupun KHI tidak menentukan / mengatur kewajiban
suami atau hak-hak istri seperti yang diatur pasal 149 dan 158 KHI. Sehingga
dalam putusan PA, masih terdapat pengadilan yang tidak membebankan kewajiban
suami yang menjadi hak islam, yaitu mut’ah nafkah, maskan dan kiswah selama
dalam masa iddah.
Dalam
perkara kasasi nomor 276 k / Ag / 2010 Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan
cerai istri kepada suami yang dikomulasikan dengan tuntutan, mut’ah, hadlonah
untuk anak, dan nafkah anak yaitu dengan membebankan mut’ah sebesar Rp.
50.000.000,-. Pertimbangan MA, karena perceraian tersebut diajukan oleh istri
disebabkan suami kawin lagi dengan perempuan lain. Padahal kesetiaan istri
lebih dari cukup. Sikap Termohon yang menikah lagi adalah Sikap yang tidak
terpuji dan sangat menyakitkan bagi seorang istri yang setia.
Di
dalam Buku II Pedoman Teknis Pengadilan Agama ditentukan bahwa apabila gugatan
cerai dengan alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami, hakim secara ex
officio dapat menetapkan nafkah iddah
5. Hak
Istri untuk didampingi seorang pendamping
Dalam proses
pemeriksaan cerai talak istri dalam gugatan Rekonpensi dapat mengajukan gugatan
provisi yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh
seorang pendamping.
Demikian
juga dalam gugatan perceraian, istri sebagai penggugat dapat mengajukan gugatan
provisi yaitu permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh
seorang pendamping.
III.
KESIMPULAN
- Dalam proses perceraian baik dengan prosedur cerai talak maupun cerai gugat, selama istri tidak berbuat nusyuz tetap mempunyai hak :
-
Nafkah madliyah
-
Mut’ah
-
Nafkah, maskan, kiswah selama dalam iddah
-
Hak hadlonah
-
Nafkah anak
- 2. Penetapan hak-hak istri : mut’ah, nafkah, maskan, kiswah selama iddah, dan nafkah anak tersebut dapat dilakukan melalui gugatan cerai, gugatan Rekonpensi dalam permohonan cerai talak maupun ditetapkan oleh Hakim secara ex officio, sebagaimana putusan kasasi tersebut di atas.
3.
Dalam hal alasan perceraian KDRT, istri dapat mengajukan gugatan provisi, yaitu
permohonan istri sebagai korban KDRT untuk didampingi oleh seorang pendamping.
4.
Penetapan jumlah kwajiban suami sebagai hak istri harus disesuaikan dengan rasa
keadilan, sehingga sesuai dengan putusan Hukum Kasasi pada MARI.
0 komentar:
Posting Komentar