Posted on 22 Februari 2011 by
virouz007
“Bunda, kenapa Allah gak kasih kita hidup enak
yah?” tanya seorang anak pada ibunya.
“Mungkin
karena Allah amat sayang sama kita,” jawab bundanya dengan santun.
“Begitu ya, bunda?” Anaknya berujar.
“Iya,
nak. Allah amat sayang sama kita, Allah gak mau kita terlena sama nikmat
dunia,” sambil meneteskan air mata Bundanya berujar pelan.
Sore
pun menjelang, bersiaplah Umar kecil untuk pergi ke masjid dekat rumahnya.
Mengenakan peci kesayangannya dan kain sarung yang agak kumal. Langkahnya
berpacu dengan suara iqamah petang itu.Dari sudut jendela, bundanya tertegun
melihat anaknya amat riang mendengar panggilan Allah itu.
“Ayo,
nak, bergegas. Jangan sampai kau telat shalat maghrib ini!” teriak bundanya
dari balik jendela.
“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum. ..”
jawab Umar.
Bangga
rupanya bunda Umar ini, melihat pelita kecilnya rajin ibadah. Matanya
berkaca-kaca saat teringat Ramadhan tahun yang lalu.
“Sayang, andai kau lihat anak kita
saat ini, dia lucu sekali,” gumam bunda Umar dalam hati.
Melayang
pikiran bunda Umar, mencoba mengingat setahun yang lalu di kamar ini. Selepas
ia tunaikan shalat maghrib, diraihnya Mushaf kecil agak kusam lalu air matanya
menetes perlahan.
“Sayang, aku rindu saat-saat itu,”
lirihnya pelan sebelum membaca Ar-Rahman malam itu.
“Andai
kau ada di sini sayang, melihat tingkah Umar yang lucu. Memegang pipinya yang
tembem, kau elus rambutnya yang lebat. Akhhh… Betapa nikmat, sayang. Andai
Allah berikan kesempatan kita berkumpul kembali, menikmati lantunan suaramu
saat kau jadi Imam kami, kau bacakan surat kesukaanmu, kau do’akan kami semua
agar kami sehat selalu. Kau berikan tanganmu untuk kukecup tanda baktiku
untukmu. Kau elus kepala imut Umar, sayang. Andai kesempatan itu kembali
terulang.”
“Bunda, kenapa nangis?” dielusnya
pipi putih Bunda oleh Umar.
“Bunda
gak apa-apa kok, nak. Bunda cuma kangen sama ayah,” sambil dikecupnya kening
Umar yang baru pulang dari masjid.
“Bunda, emang ayah ke mana?” tanya
polos Umar.
Sambil menitikan air mata, Bunda pun
membelai kepala kecil Umar.
“Ayah
udah ketemu sama Allah, nak. Ia tersenyum di sana. Ayah titip pesen kalo Umar
harus jaga Bunda. Kau mau, nak?” tanya Bunda sambil mengusap air mata.
“Mau,
Bunda. Bunda kesayangan Umar. Umar pastiii jagaa bunda,” sambil tersenyum riang
Umar menjawab.
Tawa kecil pun meledak di malam
sunyi itu.
“Ayo,
nak. Mari kita tidur. Besok pagi-pagi kita temui ayah. Umar harus janji sama
ayah bakal jaga Bunda ya?” ajak Bunda.
“Iya, Bunda. Umar janji jaga Bunda,”
mata Umar pun seraya tertutup.
“Masya
Allah…” teriakku terbangun dari tidur. Tak terasa sudah hampir 3 jam aku
tertidur amat pulas. Sesaat tersadar kalau malam ini, aku bermimpi bertemu Umar
dan suamiku.
“Allahu akbar…” tak terasa aku
kembali meneteskan air mata.
Terkenang
semua yang pernah terjadi malam ini, kecelakaan yang merengut kedua belahan
jiwa membuatku kembali menitikan air mata.
Masih
ingat olehku, bagaimana senyum manis Umar sebelum berangkat shalat ke masjid.
Masih ingat olehku, bagaimana suamiku mencium keningku sebelum aku pergi tidur.
“Tuhan…
Jaga belahan Jiwaku. Berilah mereka tempat yang lapang, ya Rabb. Kumpulkan
mereka sebagai umatmu yang bertakwa. Tuhan… Kumpulkan kami kembali di JannahMu.
Aku rindu Umar…” do’aku lirih menutup qiyamul lail malam ini.
Bunda sayang kalian… Tunggu bunda
yah! Kita pasti akan bertemu kembali, sayang.
Laa
ilaaha illaa annta subhaanaka inni kunntu minazhahaalimin. ..Laa haula walaa
quwwata illaa billaahil’aliyyil’ azhim
0 komentar:
Posting Komentar