Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan
Pada edisi yang lalu telah kita sampaikan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan
cadar bagi wanita. Sekarang -insya Allah- akan disampaikan dalil-dalil
para ulama yang tidak mewajibkannya.
Dalil-Dalil yang Tidak Mewajibkan
Inilah secara ringkas dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar
bagi wanita.
Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)
nampak dari mereka.” (QS. An Nuur: 31)
Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas
berkata, “Wajah dan telapak tangan.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan
Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah
Al Muslimah, hal. 59-60, Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I.
Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh
Syeikh Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa. Tentang
hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in. Wallahu
a’lam).
Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar.
(Riwayat ini dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah, hal. 59-60). Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini jelas
bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan
aurat yang wajib ditutup.
Kedua, firman Allah,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher)
mereka.” (QS. An Nur: 31)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Allah ta’ala memerintahkan
para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan
lehernya), maka ini merupakan nash menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman
Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu.”
(Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah,
hal. 73).
Karena memang makna khimar (kerudung) adalah penutup kepala. Demikian
diterangkan oleh para ulama, seperti tersebut dalam An Nihayah karya
Imam Ibnul Atsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu
Katsir, Tafsir Fathu Al Qadir karya Asy Syaukani, dan lainnya. (Lihat Jilbab
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72-73).
Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ
بِمَايَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nur: 30,31)
Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan
mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan
dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan.
(Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77). Semakna dengan ayat
tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita
dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak
sengaja. Di antaranya,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ
قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا
بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنْ أَبَيْتُمْ
فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ
قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan”. Maka para
Sahabat berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat
kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak
jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan
pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150,
Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah
6/11-13)
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali radhiallahu
‘anhu,
يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ
فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan
pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan
(pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua).” (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al
Mar’ah Al Muslimah, hal. 77)
Jarir bin Abdullah berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan
pandanganmu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 78)
Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah
(argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu
adalah sunah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki ialah menahan
pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk tujuan yang syar’i
(dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin An Nawawi, dan beliau
tidak menambahinya.” (Adab Asy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu
Muflih. Lihat: Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77).
Keempat, Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
dia berkata,
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ
فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى
مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو
دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي
اللَّهُ عَنْهَا
Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berpaling darinya dan berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita
itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali
ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. (HR.
Abu Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari
Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, “Terkadang Khalid
mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari ‘Aisyah.” Sanad hadits
ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah meriwayatkannya, “Hadits
ini mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Demikian
juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah.”)
Hadits ini sesungguhnya lemah, tetapi Syaikh Al Albani menyatakan bahwa
hadits ini dikuatkan dengan beberapa penguat (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah, hal. 58).
(1) Riwayat mursal shahih dari Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda. “Jika seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak
pantas terlihat sesuatu darinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai
pergelangan.” (Tetapi kemungkinan riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat
di atas, yaitu Qatadah mendapatkan hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga
tidak dapat menguatkan. Wallahu a’lam).
(2) Diriwayatkan oleh Thabrani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari
‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al
Anshari menceritakan dari bapaknya, aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah,
dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai
pakaian buatan Syam yang longgar lengan bajunya. Ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata
kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah melihat perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya
kenapa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau
menjawab, “Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita
muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi
kedua lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang
nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada
kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.”
Al-Baihaqi menyatakan, “Sanadnya dha’if.” Kelemahan hadits ini
karena perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah menceritakan
dengan hafalannya, yang sebelumnya dia seorang yang utama dan terpercaya ketika
menceritakan dengan bukunya. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini
dapat dijadikan penguat. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal.
59).
(3) Pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang
menjelaskan perhiasan yang biasa nampak yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah
dan telapak tangan. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).
Kelima, Jabir bin Abdillah berkata,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ
الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى
بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ
ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ
تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ
سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ
فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ
وَخَوَاتِمِهِنَّ
Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, dengan tanpa azan dan
tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal, memerintahkan untuk
bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk menaati-Nya. Beliau menasihati dan
mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau berlalu sampai mendatangi para
wanita, lalu beliau menasihati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda,
“Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka
Jahannam!” Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang
pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka
para wanita itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka, yang berupa giwang
dan cincin, mereka melemparkan pada kain Bilal. (HSR Muslim, dan lainnya)
Hadits ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita
membuka wajah. Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa
wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah, hal. 59) (Tetapi dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa
hadits ini yang mahfudz (shahih) dengan lafazh min safilatin nisa’
(dari wanita-wanita rendah) sebagai ganti lafazh sithatin nisa’ (dari
wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu mengisyaratkan wanita tersebut adalah
budak, sedangkan budak tidak wajib menutupi wajah. Atau kejadian ini sebelum
turunnya ayat hijab. Wallahu a’lam).
Keenam, Ibnu Abbas berkata,
أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ … فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ
إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ
الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Al Fadhl bin
Abbas… kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang banyak.
Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta fatwa kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita
tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi ‘alaihi wa sallam pun
berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi ‘alaihi wa sallam memundurkan
tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari
melihatnya…” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu,
dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan
kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka
Abbas berkata kepada Rasulullah ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa
anda memalingkan leher anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang
pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak merasa aman dari syaitan
(menggoda) keduanya” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syaikh Al Albani
menyatakan, “Sanadnya bagus”)
Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul
(selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang
sedang berihram, dengan hajji atau umrah).
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah wanita
merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak.
Pastilah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk
menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya
wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau
buruk.”
Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini
terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah.
Konsekuensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia
menajamkan pandangan, karena kekagumannya terhadap wanita tersebut, sehingga
beliau khawatir fitnah menimpanya. Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil)
pertarungan watak dasar manusia terhadapnya serta kelemahan manusia dari
kecenderungan dan kekaguman terhadap wanita. Juga terdapat (dalil) bahwa
istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh
wanita, pastilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita
dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan
wajah Al Fadhl. Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa menutup wajah wanita
tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya ketika
shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki asing.” (Fathu Al-Bari
XI/8)
Perkataan Ibnu Baththal rahimahullah tersebut dibantah oleh Al
Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa wanita dari suku Khats’am tersebut
muhrimah (wanita yang sedang berihram). Tetapi Syaikh Al Albani menyatakan,
bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah (wanita yang sedang berihram),
sebagaimana penjelasan di atas. Seandainya wanita itu muhrimah (wanita yang
sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap kuat. Karena wanita
muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di hadapan laki-laki asing,
sebagaimana hadits tentang hal ini. (Lihat haditsnya pada edisi terdahulu, pada
dalil ke 13 yang mewajibkan cadar). Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar
tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi
hukumnya adalah disukai (sunah). Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah, hal. 61-64).
Ketujuh, Sahl bin Sa’d berkata,
أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ
نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ
النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ…
“Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku
kepada Anda.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau
menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu beliau menundukkan
kepalanya……” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
menyatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya
memperhatikan kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya… tetapi
(pemahaman) ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi
kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk melihat wanita mukmin yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain
beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut,
dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya
tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa
yang dia katakan.” (Fathul Bari IX/210).
Kedelapan, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ
مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ
يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Dahulu wanita-wanita mukminah biasa menghadiri shalat subuh bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan
selimut. Kemudian (mereka) kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah
menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain,
وَمَا يَعْرِفُ بَعْضُنَا وُجُوْهَ بَعْضٍ
“Dan sebagian kami tidak mengenal wajah yang lain.” (HR. Abu Ya’la
di dalam Musnadnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah, hal. 66)
Dari perkataan ‘Aisyah, “Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena
gelap.” dapat dipahami, jika tidak gelap niscaya dikenali, sedangkan
mereka dikenali -menurut kebiasaan- dari wajahnya yang terbuka. (Lihat Jilbab
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).
Kesembilan, ketika Fatimah binti Qais dicerai thalaq tiga
oleh suaminya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang
kepadanya memerintahkan agar dia ber-’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi
kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan,
أَنَّ أُمَّ شَرِيكٍ يَأْتِيهَا الْمُهَاجِرُونَ
الْأَوَّلُونَ فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَإِنَّكِ
إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ فَانْطَلَقَتْ إِلَيْهِ …
“Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin yang
pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum yang buta,
karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia tidak akan
melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membenarkan Fathimah binti Qais dengan memakai khimar
dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup,
sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga
akan nampak apa yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang
lebih selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta.
Karena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar.
(Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).
Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena Fathimah binti Qais menyebutkan bahwa setelah habis
‘iddahnya dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang baru masuk Islam dari
Nasrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9 H. Adapun ayat jilbab turun tahun
3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya kewajiban berjilbab. (Lihat Jilbab
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66-67).
Kesepuluh, Abdurrahman bin ‘Abis,
سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قِيلَ لَهُ أَشَهِدْتَ
الْعِيدَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ
وَلَوْلَا مَكَانِي مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِي
عِنْدَ دَارِ كَثِيرِ بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ
وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ
فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِينَ بِأَيْدِيهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ ثُمَّ
انْطَلَقَ هُوَ وَبِلَالٌ إِلَى بَيْتِهِ
“Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah Anda (pernah) menghadiri
(shalat) ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Ya,
dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang masih kecil, niscaya saya tidak
menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai mendatangi tanda yang ada di dekat
rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah. Lalu
beliau bersama Bilal mendatangi para wanita, kemudian menasihati mereka,
mengingatkan mereka, dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka aku lihat
para wanita mengulurkan tangan mereka melemparkannya (cincin, dan lainnya
sebagai sedekaah) ke kain Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya.”
(HR. Bukhari, Abu Daud, Nasai, dan lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari
dalam Kitab Jum’ah)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Inilah Ibnu Abbas -di hadapan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat tangan para wanita, maka
benarlah bahwa tangan dan wajah wanita bukan aurat, adapun selainnya wajib
ditutup.”
Pengambilan dalil ini tidak dapat dibantah dengan perkataan, kemungkinan
kejadian ini sebelum turunnya ayat jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah
turunnya ayat jilbab. Dengan dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat bai’atun nisa’
(surat Al Mumtahanah: 12), padahal ayat ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H,
sebagaimana perkataan Muqatil. Sedangkan perintah jilbab (hijab) turun tahun 3
H atau 5 H ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab
binti Jahsy (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 67, 75).
Kesebelas, dari Subai’ah binti Al-Harits,
أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ ابْنِ خَوْلَةَ
فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَكَانَ بَدْرِيًّا فَوَضَعَتْ
حَمْلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنْقَضِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ مِنْ وَفَاتِهِ
فَلَقِيَهَا أَبُو السَّنَابِلِ يَعْنِي ابْنَ بَعْكَكٍ حِينَ تَعَلَّتْ مِنْ
نِفَاسِهَا وَقَدِ اكْتَحَلَتْ (وَاحْتَضَبَتْ وَ تَهَيَّأَتْ) فَقَالَ لَهَا
ارْبَعِي عَلَى نَفْسِكِ أَوْ نَحْوَ هَذَا لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ النِّكَاحَ
Bahwa dia menjadi istri Sa’d bin Khaulah, lalu Sa’d wafat pada haji
wada’, dan dia seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar). Lalu Subai’ah
binti Al Harits melahirkan kandungannya sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari
wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil (yakni Ibnu Ba’kak) menemuinya ketika
nifasnya telah selesai, dan dia telah memakai celak mata (dan memakai inai pada
kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan
terburu-buru (atau kalimat semacamnya) mungkin engkau menghendaki nikah…”
(HR. Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah,
hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadits ini nyata menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah atau mata
bukanlah aurat pada kebiasaan para wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat
yang harus ditutup, tentulah Subai’ah tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu
As Sanabil. Peristiwa ini nyata terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu
setelah haji wada’, tahun 10 H. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah,
hal. 69).
Keduabelas, Atha bin Abi Rabah berkata,
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ
أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي
أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ
وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ
إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا
Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang wanita
dari penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”. Dia berkata, “Itu wanita yang hitam,
dia dahulu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
“Sesungguhnya aku memiliki penyakit ayan (epilepsi), dan (jika kambuh, auratku)
terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”. Beliau menjawab, “Jika
engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan surga. Tetapi
jika engkau mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita
tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku)
terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak
terbuka.” Maka beliau mendoakannya. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Ketiga belas, Ibnu Abbas berkata,
كَانَتِ امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ
بَعْضُ الْقَوْمِ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا يَرَاهَا
وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا
رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَلَقَدْ
عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ )
Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagian laki-laki maju,
sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi sebagian
orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia dapat melihat
(wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat),
وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ
وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang terdahulu
daripadamu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang yang terkemudian
(daripadamu).” (QS. Al Hijr: 24) (HR. Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan
lainnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 2472.
Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 70).
Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Keempat belas, Ibnu Mas’ud berkata,
رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا
وَعِنْدَهَا نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا
رَجُلٍ رَأَى امْرَأَةً تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ
الَّذِي مَعَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga
wanita itu membuat beliau terpesona, kemudian beliau mendatangi Saudah (istri
beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita.
Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya.
Kemudian beliau bersabda: “Siapa pun lelaki yang melihat seorang wanita,
sehingga wanita itu membuatnya terpesona, maka hendaklah dia pergi kepada
istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa yang ada
pada wanita itu.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh
ini riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam Ash-Shahihah no. 235)
Sebagaimana hadits sebelumnya, hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman
Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Kelima belas, Dari Abdullah bin Muhammad, dari seorang
wanita di antara mereka yang berkata,
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آكُلُ بِشِمَالِي وَكُنْتُ امْرَأَةً عَسْرَاءَ
فَضَرَبَ يَدِي فَسَقَطَتِ اللُّقْمَةُ فَقَالَ لَا تَأْكُلِي بِشِمَالِكِ وَقَدْ
جَعَلَ اللَّهُ لَكِ يَمِينًا أَوْ قَالَ وَقَدْ أَطْلَقَ اللَّهُ يَمِينَكِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku ketika aku sedang
makan dengan tangan kiriku, karena aku seorang wanita yang kidal. Maka beliau
memukul tanganku sehingga sesuap makanan jatuh. Lalu beliau bersabda,
“Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan Allah telah menjadikan
tangan kanan untukmu.” Atau bersabda, “Sedangkan Allah telah menyembuhkan
tangan kananmu.” (HR. Ahmad dan Thabarani. Dihasankan oleh Syaikh Al
Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72)
Keenam belas, berlakunya perbuatan ini setelah wafatnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits di atas jelas
menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiah yang membuka wajah dan telapak
tangan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini
terus berlangsung setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syaikh Al Albani dalam
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah (hal. 96-103). Ini semua menguatkan,
bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga wajib ditutup.
Ketujuh belas, anggapan terjadinya ijma’ tentang wajah dan
telapak tangan merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah benar. Bahkan telah
terjadi perselisihan di antara ulama. Pendapat tiga imam (Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, dan Imam Syafi’i), menyatakan bukan sebagai aurat. Ini juga
merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad. Di antara ulama besar mazhab Hambali
yang menguatkan pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu
Muflih. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan dalam Al Mughni, “Karena
kebutuhan mendorong telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak
tangan untuk mengambil dan memberi.” (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah, hal. 7-9).
Kedelapan belas (tambahan), dalil-dalil shahih di atas
dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan
telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup. Sebagian
keterangan di atas juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi
setelah turunnya ayat hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan diperbolehkannya
membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita tidak terhapus oleh ayat jilbab.
Kemudian, seandainya tidak diketahui bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi
setelah turunnya ayat hijab/jilbab, maka hal itu menunjukkan diperbolehkannya
membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita. Sedangkan menurut kaidah, bahwa
setiap hukum itu tetap sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang
menghapusnya. Maka orang yang mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan
dalil yang menghapuskan bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan.
Adakah hal itu? Bahkan yang didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat
hukum asal tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar