Nusyuz
Oleh Muh Yazid, S.H.I
A. Pengertian Nusyuz
Menurut bahasa nusyuz adalah masdar
atau infinitive dari kata, نشز, ينشز yang mempunyai arti tanah yang
terangkat tinggi ke atas.[1] ‘Ali as-Sabuni dalam tafsirnya mengatakan
bahwa: [2]النشزالمكان المرتفع
ومنه تل ناسزأى مرتفع
Sedangkan menurut al-Qurtubi: ما إرتفع من
الأرض(suatu yang terangkat ke
atas dari bumi).[3] Adapun Ahmad Warson al-Munawwir dalam kamusnya memberi arti
nusyuz dengan arti sesuatu yang menonjol di dalam, atau dari suatu
tempatnya. Dan jika konteksnya dikaitkan dengan hubugan suami-isteri maka ia
mengartikan sebagai sikap isteri yang durhaka, menentang dan membenci kepada
suaminya.[4]
Menurut terminologis, nusyuz
mempunyai beberapa pengertian di antaranya: Menurut fuqaha Hanafiyah seperti
yang dikemukakan Saleh Ganim mendefinisikanya dengan ketidaksenangan yang
terjadi diantara suami-isteri. Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa nusyuz
adalah saling menganiaya suami isteri. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah nusyuz
adalah perselisihan diantara suami-isteri, sementara itu ulama Hambaliyah mendefinisikanya
dengan ketidak-senangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan
pergaulan yang tidak harmonis.[5]
Menurut Ibnu Manzur, secara
terminologis nusyuz ialah rasa kebencian suami terhadap isteri
atau sebaliknya.[6] Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh
dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai
ketidakpatuhan atau kebencian suami kepada isteri terhadap apa yang seharusnya
dipatuhi, begitu pun sebaliknya.[7]
Isteri yang melakukan nusyuz
dalam Kompilasi Hukum Islam didifinisikan sebagai sebuah sikap ketika
isteri tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti
lakhir dan batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.[8]
Bagi sebagian ulama berpendapat
bahwa nusyuz tidak sama dengan syiqaq, karena nusyuz
dilakukan oleh salah satu pasangan dari suami-isteri. Nusyuz berawal
dari salah satu pihak, baik dari isteri maupun suami bukan kedua-duanya secara
bersama-sama, karena hal tersebut bukan lagi merupakan nusyuz melainkan
dikategorikan sebagai syiqaq.[9] Begitu pula mereka membedakan antara nusyuz
dan i’radh.[10] Menurut mereka, dengan memperbandingkan antara surat
an-Nisa’ (4): 34 dengan an-Nisa’ (4): 128 dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa
pengertian kata nusyuz lebih menyeluruh dari pada kata i’radh.
Hal ini tentu saja dikarenakan kandungan arti kata nusyuz melingkupi
seluruh jenis perlakuan buruk dari suami dan isteri dalam hidup rumah tangga.
Sedangkan i’radh hanya sebatas beralihnya perhatian suami dari isterinya
kepada sesuatu yang lain.
Dari pengertian di atas,
ternyata para ulama memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda antara
satu dengan yang lainya. Dan sebagai kesimpulannya, disamping perbuatan nusyuz
selain mungkin saja dilakukan oleh seorang isteri, juga mungkin bila dilakukan
oleh seorang suami, jika suami tidak mempergauli isterinya dengan baik atau ia
melakukan tindakan-tindakan yang melebihi batas-batas hak dan kewenangannya
dalam memperlakukan isteri yang nusyuz sebagaimana yang digariskan oleh
ajaran agama.
B. Dasar
Hukum Perbuatan Nusyuz
Dalam kehidupan rumah tangga, tidak
selalu terjadi keharmonisan, meskipun jauh dari sebelumnya, sewaktu
melaksanakan perkawinan dikhutbahkan agar suami-isteri bisa saling menjaga
untuk dapat terciptanya kehidupan yang mawaddah warahmah diantara
mereka. Akan tetapi, dalam kenyataanya konflik dan kesalah-pahaman diantara
mereka kerap kali terjadi sehingga melunturkan semua yang diharapkan.
Timbulnya konflik dalam rumah tangga
tersebut pada akhirnya kerap kali mengarah pada apa yang disebut dalam fiqh
dengan istilah nusyuz. Hal ini dapat ditemukan dalam Ayat al-Qur’an:
الرجال قوامون على النساء بما فضل
الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قنتت حفظت للغيب بما حفظ
الله والتي تخافون نشوزهن فعضوهن وهجروهن فىالمضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا
تبتغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا[11]
Ayat diatas sering kali dikutip dan
digunakan sebagai landasan tentang nusyuznya isteri terhadap suami,
meskipun secara tersurat tidak dijelaskan bagaimana awal mula terjadinya nusyuz
isteri tersebut melainkan hanya sebatas solusi atau proses penyelesaiannya saja
yang ditawarkan. Atau dapat juga ditarik beberapa pemahaman mengenai kandungan
hukum yang terdapat dalam Ayat tersebut yaitu:
- Kepemimpinan rumah tangga
- Hak dan kewajiban suami-isteri
- Solusi tentang nusyuz yang dilakukan oleh isteri
Terdapat Ayat lain juga yang biasa
dikutip ketika membicarakan persoalan nusyuz yaitu:
وإن امرأة خافت من بعلها نشوزا أو
إعراضا فلا جناح عليها أن يصلحا بينهما صلحا والصلح خير وأحضرت الأنفس الشح وأن
تحسنوا وتتقوا فإن الله بما تعملون خبيرا[12]
Ayat di atas sering dikutip sebagai
dasar tentang nusyuznya suami, walaupun pada realitanya maupun dalam literatur-literatur
kajian fiqh persoalan tentang nusyuznya suami kurang mendapat perhatian
dan jarang menjadi obyek kajian secara khusus.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
aturan mengenai prsoalan nusyuz dipersempit hanya pada nusyuznya
isteri saja serta akibat hukum yang ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya
dalam persoalan nusyuz KHI berangkat dari ketentuan awal tentang
kewajiban bagi isteri, yaitu bahwa dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama
bagi seorang isteri ialah berbakti lakhir dan batin kepada suami dalam
batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Dan isteri dianggap nusyuz
jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
tersebut. Walaupun dalam masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyuz
isteri tersebut menurut KHI harus di dasarkan atas bukti yang sah.[13]
C. Bentuk-bentuk
Perbuatan Nusyuz
Bentuk-bentuk perbuatan nusyuz
sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Hukum Islam dapat berupa
perkataan maupun perbuatan. Bentuk perbuatan nusyuz, yang berupa perkataan
dari pihak suami atau isteri adalah memaki-maki dan menghina pasanganya,
sedangkan nusyuz yang berupa perbuatan adalah mengabaikan hak pasanganya
atas dirinya, berfoya-foya dengan orang lain, atau menganggap hina atau rendah
terhadap pasanganya sendiri.[14]
Dari pengertian nusyuz
sebagaima yang telah dijelaskan di atas yaitu sebagai sikap
pembangkanggan terhadap kewajiban-kewajiban dalam kehidupan perkawinan,[15]
sebenarnya para ulama telah mencoba melakukan klasifikasi tentang bentuk-bentuk
perubuatan nusyuz itu sendiri. Dan diantara tingkah laku maupun ucapan
yang dapat dianggap sebagai perbuatan nusyuz isteri ialah:
- Apabila isteri menolak untuk pindah kerumah kediaman bersama tanpa sebab yang dapat dibenarkan secara syar’i. Padahal suami telah mengajak pindah ke tempat kediman bersama sedang tempat kediaman bersama (tempat tinggal) tersebut merupakan tempat tinggal yang layak bagi dirinya. Sebagaimana dalil:
وترك إجابته إلى المسكن اللائك بها
النشوز[16]
- Apabila keluar dari tempat tinggal bersama tanpa seizin suaminya. Akan tetapi mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa apabila keluarnya isteri itu untuk keperluan suaminya maka tidak termasuk nusyuz, akan tetapi jika keluarnya isteri itu bukan karena kebutuhan suami maka isteri itu dianggap nusyuz.[17]
- Apabila isteri menolak untuk ditiduri oleh suaminya. Dalam suatu hadis dijelaskan tentang kewajiban seorang isteri kepada suaminya, untuk tidak menolak apabila diajak oleh suaminya untuk melakukan hubungan suami-isteri, yaitu:
إذا دعا الرجل إمرئته إلى فراشه فلم
تأته فبات غضبان عليها لعنتها الملائكه حتى تصبح[18]
Isteri yang menolak untuk ditiduri
oleh suaminya, tanpa suatu alasan yang sah maka ia dianggap nusyuz,
sesuai dengan dalil yang berbunyi:
النشوز : متى إمتنعت من فراشه أوخرجت
من منزله بغير إذنه[19]
Menurut qaul yang lain nusyuz
yaitu:
منعها نفسها من الاستمتاع بها إذا طلب
لذ لك[20]
4. Membangkangnya
seorang isteri untuk hidup dalam satu rumah dengan suami dan dia lebih senang
hidup di tempat lain yang tidak bersama suami. Hal ini sebagaimana dijelskan
dalam kitab Tafsir Al-Bahrul Muhit dengan ungkapannya yaitu bahwa
perbuatan nusyuz adalah:
ألنشوز هو امتناعها من المقام فى بيته
واقمتها فى مكان لا يريد الإ قامة فيه[21]
Untuk mengenali bentuk-bentu
perbuatan nusyuz dapat juga mengkaitkanya dengan kata yang artinya
menghilangkan, dalam arti perempuan yang hilang rasa kasih sayangnya terhadap
suami baik dzakhir maupun batinnya, sehingga seorang isteri tersebut selalu
meninggalkan kehendak dan kemauan perintah suami, sehingga suami merasa benci
dan tiada kepedulian kepadanya.[22]
Secara lebih khusus Wahbah
al-Zuhaili mengemukakan bahwa, nusyuz isteri adalah lebih pada relasi
seksual. Artinya ketika isteri tidak disibukkan oleh pelbagai alasan yang
menjadi kewajibannya, atau tidak terbayang-bayangi oleh kekerasan yang mungkin
dilakukan oleh suaminya.[23]
Sedangkan Muhammad Yusuf Musa
berpendapat bahwa ciri-ciri nusyuz isteri adalah:
- ia menolak untuk diajak pindah ke rumah suami tanpa alasan yang sah.
- isteri mau untuk tinggal di rumah kediaman bersama, tetapi kemudian dia pergi dan tidak kembali tanpa alasan yang dibenarkan syara’.
- keduanya tinggal di rumah isteri, tetapi isteri melarang sang suami untuk memasuki rumahnya.[24]
Adapun bentuk-bentuk ucapan yang
bisa dimasukkan dalam kategori nusyuznya isteri sehingga suami
diprbolehkan memukulnya diantara mencaci maki orang lain, mengucapkan kata-kata
yang tidak pantas seperti bodoh, kepada suami meskipun suami mencaci lebih
dulu.[25]
Menurut Saleh bin Ganim, bentuk-bentuk
perbuatan nusyuz yang berupa perkataan atau ucapan adalah seperti tutur
sapa seorang isteri kepada suaminya yang semula lembut, tiba-tiba beruba
menjadi kasar dan tidak sopan. Bila dipanggil suami, isteri tidak menjawab,
atau menjawab dengan nada terpaksa, atau pura-pura tidak mendengar dan
mengulur-ulur jawaban, berbicara dengan sura keras dan nada tinggi, berbicara
dengan laki-laki lain yang tidak mahramnya, baik langsung maupun tidak (lewat
telepon atau bersurat-suratan), dengang tujuan tidak dibenarkan syara’,
mencaci-maki, berkata kotor dan melaknat, menyebarkan berita keburukan suami
dengan tujuan melecehkannya di hadapan orang lain, tidak menepati janji
terhadap suami, menuduh suami berbuat mesum dan meminta cerai tanpa alasan yang
jelas.[26]
Sebagaimana isteri, nusyuz suami
pun dapat berupa ucapan, perbuatan atau juga dapat berupa kedua-duanya
sekaligus. Dan hal ini sebagaimana diuraikan secara rinci oleh Saleh bin Ganim
sebagai berikut:[27]
- mendiamkan isteri, tidak diajak bicara. Meskipun bicara tapi selalu menggunakan kata-kata yang kasar dan menyakitkan.
- mencela dengan menyebut-nyebut keaiban jasmani atau jiwanya.
- berburuk sangka terhadap isteri, dan tidak mengajak isteri tidur bersama.
- menyuruh isteri melakukan maksiat dan melangar larangan Allah.
Sementara itu, bentuk nusyuz yang
berupa perbuatan dapat berupa:
- tidak mengauli isterinya tanpa uzur atau sebab-sebab yang jelas.
- menganiaya isteri, baik dengan pukulan, hinaan, atau celaan dengan tujuan hendak mencelakakan isteri.
- tidak memberi nafkah sandang, pangan dan lain-lain.
- menjahui isteri karena penyakit yang dideritanya.
- bersenggama dengn isteri melalui duburnya.
D. Akibat Hukum Nusyuz
Menurut Muhammad ‘Ali al-Sabuni, apabila terjadi nusyuz yang dilakukan oleh isteri maka
Islam memberikan cara yang jelas dalam mengatasinya:
- Memberikan nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik.
- Memisahi ranjang dan tidak mencampurinya (mengaulinya).
- Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak dan sebagainya, dengan tujuan sebagai pembelajaran baginya.
- Kalau ketiga cara diatas sudah tidak berguna (masih belum bisa mengatasi isteri yang nusyuz), maka dicari jalan dengan bertahkim (mengangkat hakim) untuk menyelesaikannya.[28]
Mengenai tiga tindakan yang harus
dilakukan suami terhadap isteri yang nusyuz berdasarkan pada surat
an-Nisa’ Ayat 34 di atas tersebut, ulama fiqh berbeda pendapat dalam
pelaksanaanya, apakah harus berurutan atau tidak. Menurut jumhur, termasuk
mazhab Hambali, tindakan tersebut harus berurutan dan disesuaikan dengan
tingkat dan kadar nusyuznya. Sedangkan mazhab Syafi’i, termasuk Imam
Nawawi, berpendapat bahwa dalam melakukan tindakan tersebut tidak harus
berjenjang, boleh memilih tindakan yang diinginkan seperti tindakan pemukulan
boleh dilakukan pada awal isteri nusyuz.[29] Hal itu dengan catatan jika
dirasa dapat mendatangkan manfaat atau faedah jika tidak maka tidak perlu,
malah yang lebih baik adalah memaafkannya.[30]
Sebagai akibat hukum yang lain dari
perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang
tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa
adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka
isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal
suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz
selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan
giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal.[31]
Menurut maz\hab Hanafi, apabila
seorang isteri mengikatkan (tertahan) dirinya dirumah suaminya dan dia tidak
keluar tanpa seizin suaminya, maka isteri seperti ini dianggap taat. Sedangan
bila ia keluar rumah atau menolak berhubungan badan dengan alasan yang tidak
dapat dibenarkan secara syar’i maka ia disebut nusyuz dan tidak
mendapatkan nafkah sedikitpun, karena sebab wajibnya nafkah menurut ulama
Hanafiyah adalah tertahannya seorang isteri di rumah suami.[32]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dijelaskan bahwa kewajiban-kewajiban suami yang berupa kewajiban memberi
nafkah, menyediakan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya
perawatan dan pengobatan bagi isteri berlaku semenjak adanya tamkin sempurna
dari isterinya. Dan kewajiban-kewajiban tersebut menjadi gugur apabila isteri nusyuz[33]
Dalam Pasal selanjutnya dijelaskan
bahwa selama isteri dalam keadaan nusyuz kewajiban suami terhadap
isterinya seperti yang telah disebutkan di atas gugur kecuali yang berkaitan
dengan hal-hal untuk kepentingan anaknya. Dan untuk kewajiban suami terhadap
isteri nusyuz yang gugur tersebut belaku kembali jika isteri sudah tidak
nusyuz lagi.[34]
Begitu pula akibat hukum yang berupa
perceraian, hal ini dimungkinkan jika kedua belah pihak sudah tidak mungkin
untuk berdamai lagi, hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan pada Pasal 39 Ayat
(2) jo. Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 116
huruf.
Dalam hal akibat hukum bagi nusyuznya
suami maka tidak ada ketentuan yang secara jelas mengatur tentang kewenangan
atau hak isteri dalam menindak suaminya tersebut. Walaupun seorang isteri
memiliki kewenangan untuk ikut menanggulangi kekeliruan dan penyelewengan yang
dilakukan suami, hal itu sebatas tanggung jawabnya sebagai seorang isteri.
Seorang isteri tidak dibenarkan menjalankan atau menerapkan metode pengacuhan
atau pemukulan seperti yang dilakukan suami kepadanya saat ia nusyuz,
hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan qodrat antara laki-laki dan
wanita, serta lemahnya isteri untuk dapat menanggulangi suami.[35]
Seorang isteri dalam menyikapi nusyuznya
suami hendaknya berusaha sekuat tenaga untuk menasihati suaminya akan tanggung
jawabnya atas isteri dan anak-anaknya. Hal ini tentu saja ia lakukan dengan
cara musyawarah secara damai dengan tutur kata lembut dan halus. Tidak lupa ia
juga harus mengintropeksi diri atas segala kemungkinan dirinya sebagai pemicu
suaminya dalam melakukan penyimpangan tersebut.[36]
Apabila dengan jalan musyawarah
tidak tercapai perdamaian juga, maka menurut imam Malik sebagaimana dikutip
oleh Nurjannah Ismail isteri boleh mengadukan suaminya kepada hakim
(pengadilan). Hakimlah yang akan memberikan nasihat kepada sang suami. Apabila
tidak dapat dinasihati, hakim dapat melarang sang isteri untuk taat kepada sang
suami, tetapi suami tetap wajib memberi nafkah. Hakim juga membolehkan sang
isteri untuk pisah ranjang, bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. Jika dengan
cara demikian pun, sang suami belum sadar juga, maka hakim dapat menjatuhkan
hukuman pukulan kepada sang suami. Setelah pelaksanaan hukuman tersebut, sang
suami belum juga memperbaiki diri, maka hakim boleh memutuskan perceraian
dintara keduanya jika isteri menginginkannya. Pendapat imam Malik ini seimbang
dengan sikap yang harus diambil atau ditempuh oleh suami saat menghadapi isteri
nusyuz, sebagaimana dijelaskan dalam surat an-nisa’ (4): 34, bedanya
dalam kasus nusyuznya suami ini yang bertindak adalah hakim.[37]
[1] Ibn Manzur, Lisan al-’Arabi,
(Beirut: Dar Lisan al-’Arabi, ttp), III: 637.
[2] Muhammad ‘Ali As-Sabuni, Rowaiul
Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, 2001 H/14), I: 322.
[3] Al-Qurtubi, Jami’ al-Ahkam
al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Kitab al-’Arabi, 1967), III: 170.
[4] Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir,
(Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1418.
[5] Dikutip dari Saleh bin Ganim
al-Saldani, Nusyuz, alih bahasa A. Syaiuqi Qadri, cet. VI (Jakarta: Gema
Insani Press, 2004), hlm. 25-26.
[6] Ibid., hlm. 1354.
[7] Ibid.
[8] Inpres nomor 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 83 Ayat (1) dan 84 Ayat (1).
[9] Ensiklopedi Hukum Islam,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.), IV: 1353.
[10] I’radh ialah kurangnya
perhatian seorang suami terhadap isterinya hingga tidak ada
komunikasi dan intraksi yang wajar sebagai pasangan hidup, atau menelantarkan
isteri tanpa setatus, diperhatikan tidak, dicerai pun tidak.(lihat, Saleh bin
Ganim, nusyuz, hlm. 29).
[11] An-Nisa’ (4): 34.
[12] An-Nisa’ (4): 128.
[13] KHI, Pasal 83 Ayat 1 dan
Pasal 84 Ayat (1) dan (4).
[14] Ensiklopedi, hlm.
1354-1355.
[15] Ahmad Azhar Basyir, Hukum
Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UUI Press, 1995), hlm. 81.
[16] Abdurrahman Ba’lawi, Bugyah
al-Musytarsyidin, (Bandung: L. Ma’arif, t.t.), hlm. 272.
[17] Imam Taqiyu ad-Din Abi Bakr ibn
Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi asy-Syafi’i, Kifayat al-Akhyar, (tnp.,
Dar al-Fikr, t.t.), II: 148.
[18] Abi Daud Sulaiman ibn as-Yas
asy-syajastani, Sunan Abi Daud, “Kitab an-Nikah”, “Bab fi haqqi az-Zawj
‘ala al-Mar’ah”, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212. hadis nomor 2141, hadis
diriwAyatkan dari abi Hurairah.
[19] Muhammad Sarbini al-Katib, Mugni
al-Muhtaj, (Mesir: Mustafa al-bab al-Halabi, t.t.), VI: 295.
[20] Imam Abi Al-Fida’ Al-Hafiz ibn
Kas\ir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim, (Beirut: an-Nur al-Ilmiyah, t.t.), I:
241.
[21] Muh. Yusuf Asy-Syahir al-Jamal,
Tafsir Al-Bahr al-Muhit, cet. II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah,
1413 H/1993 M), II: 251.
[22] Ibid., II:
452.
[23] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, cet. IV, (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), IV: 6851.
[24] Muhammad Yusuf Musa, Ahkam
al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-Islami, cet. I, (Mesir: Dar al-Kitab
al-’Arabi, 1956), hlm. 222.
[25] Forum Kajian Kitab Kuning
(FK3), Wajah Baru Relasi Suami-isteri., hlm. 26.
[26] Saleh bin Ganim, Nusyuz., hlm.
31-32.
[27] Ibid., hlm. 33-34.
[28] Muhammad ‘Ali as-Sabuni, Rawaiu
al-Bayan., hlm. 370-371
[29] Ensiklopedi Hukum Islam,
hlm. 1355.
[30] Muhammad Nawawi, Uqud
al-Lujjayn., hlm. 7.
[31] Ahamad Azhar Basyir, Hukum
Perkawinan Islam., hlm. 81.
[32] Muhammad Jawad Mugniyyah, Al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah, (Bairut: Dar al-Ilm Li al-Malayin, 1964), hlm. 102.
[33] KHI, Pasal 80 Ayat (4),
(5) dan (7).
[34] Ibid., Pasal 84 Ayat
(2), (3) dan (4).
[35] Saleh Ganim, Nusyuz,
hlm. 60.
[36] Ibid., hlm. 61.
[37] Nurjannah, Perempuan Dalam
Pasungan; Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, cet. I, (Yogyakarta: LkiS,
2003), hlm. 279.
0 komentar:
Posting Komentar