Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan
Pembahasan ini diambil dari rubrik
tanya jawab majalah As Sunnah dan kami mendapatkan naskah ini dari kumpulan
artikel Ustadz Kholid Syamhudi jazaahullahu khairan. Untuk memudahkan
dalam pembacaan, pembahasan ini akan kami bagi menjadi 5 bagian yaitu dalil
para ulama yang mewajibkan (2 bagian), dalil para ulama yang mengatakan tidak
wajib (2 bagian) dan kesimpulan (1 bagian). Kami sarankan pada pembaca untuk
menyimak dengan seksama dalil-dalil yang dipaparkan dalam artikel ini. Selamat
membaca…
Pertanyaan:
Apakah hukum cadar (menutup wajah)
bagi wanita, wajib atau tidak?
Jawaban:
Banyak pertanyaan yang ditujukan
kepada kami, baik secara langsung maupun lewat surat, tentang masalah hukum
cadar (menutup wajah) bagi wanita. Karena banyak kaum muslimin belum memahami
masalah ini, dan banyak wanita muslimah yang mendapatkan problem karenanya,
maka kami akan menjawab masalah ini dengan sedikit panjang. Dalam masalah ini,
para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan wajib, yang lain menyatakan
tidak wajib, namun merupakan keutamaan. Maka di sini -insya Allah- akan
kami sampaikan hujjah masing-masing pendapat itu, sehingga masing-masing pihak
dapat mengetahui hujjah (argumen) pihak yang lain, agar saling memahami
pendapat yang lain.
Dalil yang Mewajibkan
Berikut ini akan kami paparkan
secara ringkas dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita.
Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَقُل
لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang
beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan
mereka.” (QS. An Nur: 31)
Allah ta’ala memerintahkan wanita
mukmin untuk memelihara kemaluan mereka, hal itu juga mencakup perintah
melakukan sarana-sarana untuk memelihara kemaluan. Karena menutup wajah
termasuk sarana untuk memelihara kemaluan, maka juga diperintahkan, karena
sarana memiliki hukum tujuan. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 7, karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kedua, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلاَ
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nur: 31)
Ibnu Mas’ud berkata tentang
perhiasan yang (biasa) nampak dari wanita: “(yaitu) pakaian” (Riwayat
Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa’
IV/486). Dengan demikian yang boleh nampak dari wanita hanyalah pakaian, karena
memang tidak mungkin disembunyikan.
Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dada (dan leher) mereka.”
(QS. An Nur: 31)
Berdasarkan ayat ini wanita wajib
menutupi dada dan lehernya, maka menutup wajah lebih wajib! Karena wajah adalah
tempat kecantikan dan godaan. Bagaimana mungkin agama yang bijaksana ini
memerintahkan wanita menutupi dada dan lehernya, tetapi membolehkan membuka
wajah? (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 7-8, karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keempat, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلاَ
يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka memukulkan
kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31)
Allah melarang wanita menghentakkan
kakinya agar diketahui perhiasannya yang dia sembunyikan, seperti gelang kaki
dan sebagainya. Hal ini karena dikhawatirkan laki-laki akan tergoda gara-gara
mendengar suara gelang kakinya atau semacamnya. Maka godaan yang ditimbulkan
karena memandang wajah wanita cantik, apalagi yang dirias, lebih besar dari
pada sekedar mendengar suara gelang kaki wanita. Sehingga wajah wanita lebih
pantas untuk ditutup untuk menghindarkan kemaksiatan. (Lihat Risalah
Al-Hijab, hal 9, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit
Darul Qasim).
Kelima, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَالْقَوَاعِدُ
مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن
يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ
لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang
telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),
tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud)
menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. An Nur: 60)
Wanita-wanita tua dan tidak ingin
kawin lagi ini diperbolehkan menanggalkan pakaian mereka. Ini bukan berarti
mereka kemudian telanjang. Tetapi yang dimaksud dengan pakaian di sini adalah
pakaian yang menutupi seluruh badan, pakaian yang dipakai di atas baju (seperti
mukena), yang baju wanita umumnya tidak menutupi wajah dan telapak tangan. Ini
berarti wanita-wanita muda dan berkeinginan untuk kawin harus menutupi wajah
mereka. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 10, karya Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas
berkata tentang firman Allah “Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian
mereka.” (QS An Nur:60): “(Yaitu) jilbab”. (Kedua riwayat ini
dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa
IV/523)
Dari ‘Ashim Al-Ahwal, dia berkata: “Kami
menemui Hafshah binti Sirin, dan dia telah mengenakan jilbab seperti ini, yaitu
dia menutupi wajah dengannya. Maka kami mengatakan kepadanya: “Semoga Allah
merahmati Anda, Allah telah berfirman,
وَالْقَوَاعِدُ
مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن
يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan perempuan-perempuan tua yang
telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),
tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud)
menampakkan perhiasan.” (QS.
An-Nur: 60)
Yang dimaksud adalah jilbab. Dia
berkata kepada kami: “Apa firman Allah setelah itu?” Kami menjawab:
وَأَن
يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan jika mereka berlaku sopan
adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 60)
Dia mengatakan, “Ini menetapkan
jilbab.” (Riwayat Al-Baihaqi. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/524)
Keenam, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dengan tidak (bermaksud)
menampakkan perhiasan.” (QS.
An-Nur: 60)
Ini berarti wanita muda wajib
menutup wajahnya, karena kebanyakan wanita muda yang membuka wajahnya,
berkehendak menampakkan perhiasan dan kecantikan, agar dilihat dan dipuji oleh
laki-laki. Wanita yang tidak berkehendak seperti itu jarang, sedang perkara
yang jarang tidak dapat dijadikan sandaran hukum. (Lihat Risalah Al-Hijab,
hal 11, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin, penerbit: Darul Qasim).
Ketujuh, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَآأَيُّهَا
النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ
وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Ahzab: 59)
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhu berkata, “Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin,
jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi
wajah mereka dengan jilbab (pakaian semacam mukena) dari kepala mereka. Mereka
dapat menampakkan satu mata saja.” (Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan
bahwa perawi riwayat ini dari Ibnu Abbas adalah Ali bin Abi Thalhah yang tidak
mendengar dari ibnu Abbas. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/513)
Qatadah berkata tentang firman Allah
ini (QS. Al Ahzab: 59), “Allah memerintahkan para wanita, jika mereka keluar
(rumah) agar menutupi alis mereka, sehingga mereka mudah dikenali dan tidak
diganggu.” (Riwayat Ibnu Jarir, dihasankan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi
di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/514)
Diriwayatkan Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhu berkata, “Wanita itu mengulurkan jilbabnya ke wajahnya, tetapi
tidak menutupinya.” (Riwayat Abu Dawud, Syaikh Mushthafa Al-Adawi
menyatakan: Hasan Shahih. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/514)
Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya
mempraktekkan cara mengulurkan jilbab itu dengan selendangnya, yaitu
menjadikannya sebagai kerudung, lalu dia menutupi hidung dan matanya sebelah
kiri, dan menampakkan matanya sebelah kanan. Lalu dia mengulurkan selendangnya
dari atas (kepala) sehingga dekat ke alisnya, atau di atas alis. (Riwayat Ibnu Jarir,
dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa
IV/513)
As-Suyuthi berkata, “Ayat hijab
ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban
menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah,
hal 51, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Perintah mengulurkan jilbab ini
meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa dalil:
- Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah: Pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.
- Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliah adalah wajah mereka, lalu Allah perintahkan istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Kata idna’ (pada ayat tersebut يُدْنِينَ -ed) yang ditambahkan huruf (عَلَي) mengandung makna mengulurkan dari atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah dan badan.
- Menutupi wajah, baju, dan perhiasan dengan jilbab itulah yang dipahami oleh wanita-wanita sahabat.
- Dalam firman Allah: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu”, merupakan dalil kewajiban hijab dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara kaum muslimin. Sedangkan dalam ayat ini istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bersama-sama dengan anak-anak perempuan beliau serta istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya mengenai seluruh wanita mukmin.
- Dalam firman Allah: “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” Menutup wajah wanita merupakan tanda wanita baik-baik, dengan demikian tidak akan diganggu. Demikian juga jika wanita menutupi wajahnya, maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan untuk membuka anggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita merupakan sasaran gangguan dari laki-laki nakal/jahat. Maka dengan menutupi wajahnya, seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki sehingga dia tidak akan diganggu.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah,
hal 52-56, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedelapan, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
لاَّ
جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي ءَابَآئِهِنَّ وَلآ أَبْنَآئِهِنَّ وَلآ إِخْوَانِهِنَّ
وَلآ أَبْنَآءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَ نِسَآئِهِنَّ
وَلاَ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى
كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدًا
“Tidak ada dosa atas istri-istri
Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak
laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara
laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan,
perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan
bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Menyaksikan segala sesuatu.”
(QS. Al Ahzab: 55)
Ibnu Katsir berkata, “Ketika
Allah memerintahkan wanita-wanita berhijab dari laki-laki asing (bukan mahram),
Dia menjelaskan bahwa (para wanita) tidak wajib berhijab dari karib kerabat
ini.” Kewajiban wanita berhijab dari laki-laki asing adalah termasuk
menutupi wajahnya.
Kesembilan, firman Allah:
وَإِذَا
سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ
لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang
tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)
Ayat ini jelas menunjukkan wanita
wajib menutupi diri dari laki-laki, termasuk menutup wajah, yang hikmahnya
adalah lebih menjaga kesucian hati wanita dan hati laki-laki. Sedangkan menjaga
kesucian hati merupakan kebutuhan setiap manusia, yaitu tidak khusus bagi
istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat saja,
maka ayat ini umum, berlaku bagi para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan semua wanita mukmin. Setelah turunnya ayat ini maka Nabi shallallahu
‘alihi wa sallam menutupi istri-istri beliau, demikian para sahabat
menutupi istri-istri mereka, dengan menutupi wajah, badan, dan perhiasan. (Lihat
Hirasah Al-Fadhilah, hal: 46-49, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid,
penerbit Darul ‘Ashimah).
Kesepuluh, firman Allah:
يَانِسَآءَ
النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً
مَّعْرُوفًا {32} وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ
وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ
الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian
tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu
tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah
Allah dan Rasul-Nya.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 32-33)
Ayat ini ditujukan kepada para istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi hukumnya mencakup
wanita mukmin, karena sebab hikmah ini, yaitu untuk menghilangkan dosa dan
membersihkan jiwa sebersih-bersihnya, juga mengenai wanita mukmin. Dari kedua
ayat ini didapatkan kewajiban hijab (termasuk menutup wajah) bagi wanita dari
beberapa sisi:
- Firman Allah: “Janganlah kamu tunduk dalam berbicara” adalah larangan Allah terhadap wanita untuk berbicara secara lembut dan merdu kepada laki-laki. Karena hal itu akan membangkitkan syahwat zina laki-laki yang diajak bicara. Tetapi seorang wanita haruslah berbicara sesuai kebutuhan dengan tanpa memerdukan suaranya. Larangan ini merupakan sebab-sebab untuk menjaga kemaluan, dan hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan hijab.
- Firman Allah: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” merupakan perintah bagi wanita untuk selalu berada di dalam rumah, menetap dan merasa tenang di dalamnya. Maka hal ini sebagai perintah untuk menutupi badan wanita di dalam rumah dari laki-laki asing.
- Firman Allah: “Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” adalah larangan terhadap wanita dari banyak keluar dengan berhias, memakai minyak wangi dan menampakkan perhiasan dan keindahan, termasuk menampakkan wajah.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah,
hal 39-44, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit, Darul ‘Ashimah).
Kesebelas, Ummu ‘Athiyah berkata:
أُمِرْنَا
أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ
جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ
مُصَلَّاهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا
جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Pada dua hari raya, kami
diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan
untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita
haidh menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai
Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia
keluar)?” Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk
dipakai wanita tersebut.”” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan kebiasaan
wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan Rasulullah tidak mengizinkan
wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan
agama. Maka hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri. (Lihat Risalah Al
Hijab, hal 15, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit
Darul Qasim).
Keduabelas, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنَّ
نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ
إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ
الْغَلَسِ
“Dahulu wanita-wanita mukmin biasa
menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut. Kemudian mereka kembali ke
rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun
mengenal mereka karena gelap.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Menutupi diri merupakan kebiasaan
wanita sahabat yang merupakan teladan terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang
dari jalan mereka itu. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 16-17, karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Ketiga belas, Perkataan ‘Aisyah: “Seandainya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat wanita-wanita (di zaman ini) apa yang kita lihat,
niscaya beliau melarang para wanita ke masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu
melarang para wanita mereka.” Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdullah
bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
Dari riwayat ini diketahui bahwa
setiap perkara yang mengakibatkan sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang.
Karena membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan bahaya, maka terlarang.
(Lihat Risalah Al Hijab, hal 17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin,
penerbit Darul Qasim).
Keempat belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ
جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ
يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ
ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Barang siapa menyeret pakaiannya
dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu
Salamah bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau
menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sejengka.l” Ummu Salamah berkata lagi:
“Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah
mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.” (HR. Tirmidzi, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban
menutupi telapak kaki wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita
sahabat. Sedangkan terbukanya telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari
pada terbukanya wajah dan tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi
wajah dan tangan wanita. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17-18, karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kelima belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا
كَانَ عِنْدَ مُكَاتَبِ إِحْدَاكُنَّ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ
“Jika budak mukatab (budak yang ada
perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah
uang tertentu -pen) salah seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang
akan dia tunaikan, maka hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban
wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahram). (Lihat Risalah
Al Hijab, hal 18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit
Darul Qasim).
Keenam belas, ‘Aisyah berkata:
كَانَ
الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا
مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
“Para pengendara kendaraan biasa
melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang
di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka
telah melewati kami, kami membuka wajah.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)
Wanita yang ihram dilarang memakai
penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana disebutkan di dalam Shahihain (Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim). Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang
ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat
dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban
menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini
(yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). (Lihat Risalah Al Hijab,
hal 18-19, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul
Qasim).
Ketujuh belas, Asma’ binti Abi Bakar berkata: “Kami menutupi wajah
kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.”
(HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan
syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah
wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. (Lihat Hirasah
Al-Fadhilah, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul
‘Ashimah).
Kedelapan belas, ‘Aisyah berkata:
لَمَّا
نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ )
أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“Mudah-mudahan Allah merahmati
wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al
Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari
8/490): “Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka
menutupi wajah mereka.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 69, karya
Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kesembilan belas, Dari Urwah bin Zubair:
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا
وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ الْحِجَابُ فَأَبَيْتُ أَنْ
آذَنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara
Abul Qu’eis, paman Aisyah dari penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya
setelah turun ayat hijab. ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau memberinya izin
kepadanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang maka
aku memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku agar
memberi izin kepadanya.” (HR.
Bukhari dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari
9/152): “Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari
laki-laki asing.”
Kedua puluh, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ
عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita adalah aurat, jika dia
keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Kalau wanita adalah aurat, maka
semuanya harus ditutupi. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 74-75, karya
Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh satu, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ
وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Janganlah kamu masuk menemui
wanita-wanita.” Seorang laki-laki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami
(bolehkah dia masuk menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab:
“Saudara suami adalah kematian. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Jika masuk menemui wanita-wanita
bukan mahram tidak boleh, maka menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga
wanita wajib menutupi tubuh mereka, termasuk wajah. (Lihat Hirasah
Al-Fadhilah, hal 75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul
‘Ashimah).
Kedua puluh dua, Perkataan ‘Aisyah dalam peristiwa Haditsul Ifki:
وَقَدْ
كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِيُّ- يَرَانِي
قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ
عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي
“Dia (Shawfan bin Al-Mu’athal)
dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun
karena perkataannya: “Inna lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi
wajahku dengan jilbabku.” (HR.
Muslim)
Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin,
yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum
sebagaimana dalam masalah hijab. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 72,
karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh tiga, Aisyah berkata:
خَرَجَتْ
سَوْدَةُ بَعْدَ مَا ضُرِبَ عَلَيْهَا الْحِجَابُ لِتَقْضِيَ حَاجَتَهَا وَكَانَتِ
امْرَأَةً جَسِيمَةً تَفْرَعُ النِّسَاءَ جِسْمًا لَا تَخْفَى عَلَى مَنْ
يَعْرِفُهَا فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ يَا سَوْدَةُ وَاللَّهِ مَا
تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا فَانْظُرِي كَيْفَ تَخْرُجِينَ
“Setelah diwajibkan hijab pada
Saudah, dia keluar (rumah) untuk menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita
yang besar (dalam riwayat lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanita-wanita
lainnya, tidak samar bagi orang yang mengenalnya. Lalu Umar melihatnya,
kemudian berkata: “Hai Saudah, demi Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi
kami, perhatikanlah bagaimana engkau keluar!”
(HR. Muslim)
Karena Umar mengetahui Saudah dengan
tinggi dan besarnya, maka ini menunjukkan wajahnya tertutup. (Lihat Jami
Ahkamin Nisa’ IV/486, karya Syaikh Mushthafa Al-Adawi).
Kedua puluh empat, terjadinya ijma’ tentang kewajiban wanita untuk selalu
menetap di rumah dan tidak keluar kecuali jika ada keperluan, dan tentang
wanita tidak keluar rumah dan lewat di hadapan laki-laki kecuali dengan
berhijab (menutupi diri) dan menutup wajah. Ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Hafizh
Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. (Lihat
Hirasah Al-Fadhilah, hal 38, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit
Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh lima, banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh terbukanya wajah
wanita. Seperti wanita akan menghiasi wajahnya sehingga mengundang berbagai
kerusakan; hilangnya rasa malu dari wanita; tergodanya laki-laki; percampuran
laki-laki dengan wanita; dan lain-lainnya. (Lihat Risalah Al Hijab, hal
20-24, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kedua puluh enam, bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan wanita
membuka wajah secara ringkas:
- Dalil-dalilnya shahih dan jelas penunjukan dalilnya. Tetapi dalil-dalil itu telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang mewajibkan hijab yang turun pada tahun 5 H, atau itu dilakukan oleh wanita tua yang tidak wajib berhijab, atau di hadapan anak kecil yang belum tahu aurat wanita.
- Dalil-dalilnya shahih tetapi tidak jelas penunjukan dalilnya. Sehingga tidak kuat melawan dalil-dalil yang mewajibkan wanita menutup wajahnya. Sedangkan yang wajib adalah mengembalikan dalil-dalil mutasyabih (maknanya tidak pasti) kepada yang muhkam (maknanya pasti).
- Dalil-dalilnya jelas penunjukan dalilnya tetapi tidak shahih, sehingga tidak dapat diterima.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah,
hal 82-83, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Ringkasan Dalil-Dalil di Atas
Inilah ringkasan dalil-dalil para
ulama yang mewajibkan hijab. Jika disimpulkan dalil-dalil itu, maka dapat
dikelompokkan pada beberapa point:
- Menjaga kemaluan hukumnya wajib, sedangkan menutup wajah termasuk sarana untuk menjaga kemaluan, sehingga hukumnya juga wajib.
- Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk berhijab (menutupi diri) dari laki-laki selain mahramnya. Perintah hijab ini meliputi menutup wajah.
- Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk memakai jilbab. Jilbab ini meliputi menutup wajah.
- Perintah Allah kepada wanita untuk menutupi perhiasannya, ini mencakup menutupi wajah.
- Ijma yang mereka nukilkan.
- Qiyas. Yaitu kalau wanita wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup wajah wanita lebih wajib.
- Kebiasaan para wanita sahabat, termasuk Ummahatul mukminin, menutupi wajah mereka.
Di Antara Ulama Zaman Ini yang
Mewajibkan Cadar
Di antara para ulama zaman ini yang
menguatkan pendapat ini adalah: Syaikh Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz
bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah
bin Ibrahim Al-Jarullah, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Mushthafa Al-Adawi dan
para ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil para ulama
yang mewajibkan cadar (menutup wajah) bagi wanita. Selanjutnya akan kita
sampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar.
0 komentar:
Posting Komentar