Hak dan kewajiban Suami
Istri Dalam Masa iddah (sebuah analisis dalam perfektif islam)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
‘iddah bermakna
perhitungan atau sesuatu yang di hitung. Secara bahasa mengandung pengertian
hari – hari haidh atau hari – hari suci pada wanita. sedangkan ssecara istilah,
‘’ iddah mengandung arti masa
menunggu arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah
terjadinya perceaian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati,
dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi suami.[1]
Para
ulama mendefinisikan ‘iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesuciaan seorang istri
yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu
dilarang untuk di nikahkan.[2]
Dengan
redaksi yang agak panjang Ahmad Al-Ghundur memberikan definisi ‘iddah dengan,
jenjang waktu yang di tentukan untuk menanti kesucian (kebersihan rahim) dari
pengaruh hubungan suami istri setelah sang istri di ceraikan atau ditinggal
mati suami, yaitu waktu yang biasa dipikul oleh istri setelah putus ikatan
pernikahan karena dikhawatirkan terjadi kesyubhatan dalam pengaruh hubungan kelamin
atau yang sesamanya seperti bermesra-mesraan(dengan pria lain jika ia segera
menikah).[3]
Menurut
Sayuti Thalib, pengertian kata ‘iddah daat di lihat dari dua sudut pandang :
Pertama,
di lihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat
rujuk kepada istrinya. Dengan demikan, kata ‘iddah dimaksudkan sebagai
suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak,
dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada istrinya.
Kedua,
dengan demikian dilihat dari segi istri, masa ’iddah itu akan berarti sebagai
suatu tenggang waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan
perkawinan dengan pihak laki-laki lain.[4]
Penting
di catat, masa ‘iddah ini hanya berlaku bagi yang telah di dukhul. Sedangkan bagi isrti yang belum yang di dukhul (qabla al-dukhul) dan putusnya
bukan karena kematian suami maka
tidak berlaku baginya masa ‘iddah.
Menyankut
ayat-ayat tentang ‘iddah ini dapat
dilihat firman Allah SWT. Yang artinya :
Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka ebelum kamu mencamprinya, maka sekali-kali tidak wjib atas
mereka “iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.(QS.
Al-ahzab/33:49).
Wanita-wanita yang talak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali (quru’) (QS. Al-baqarah/2:228).
Berkenaan
masalah quru’ terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih. Wanita
ygtidak yang mengandung dan masih termasuk dalam kategori orang-orang maih
haid, masa ‘iddahnya di atur menurut aqra’. Dalam hal ini terdapat perbedaan di
kalangan ulama malikiyah dan ulama Syafi’iyyah. Bagi ulama Malikiyah makna
salasata quru’ adalah tiga kali haid, sedangkan Syafi’i memahaminya tiga kali
suci. Kendati demikian jika di konvesi ke dalam hitungan hari sebenarnya hampir
sama yaitu lebih kurang 3 bulan. Bagi wanita yang belum atau tidak haid lagi,
masa ‘iddahnya selama tiga bulan.
Selanjutnya
mengenai ‘iddah putusnya pekawinan dengan sebab kematian terdapat pada ayat
berikut ini:
Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istri tesebut) menagguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS.
Al-Baqarah/2:234).
Berangkat
dari ayat-ayat di atas, menurut kalangan Fuqaha ‘iddah itu terbagi ke dalam dua
kategori utama. Pertama, ‘iddah yang terjadi karena wanita tersebut ditinggal
mati oleh suaminya. Kedua, ‘iddah yang terjadi bukan karena ditinggal mati
suami. Kondisi orang yang ditinggal mati ini adakalanya wanita tersebut dalam
keandaan mengandung dan adakalanya sedang kosong (bara’aturahmina). Apabila
dalam keadaan mengandung, masa ‘iddahnya adalah a menungu sampai kandungannya
lahir.Apabila dalam keadaan tidak mengandung, dalam pengertian tidak ada benih
di dalamnya, masa ‘iddahnya 4 bulan sepuluh hari.
Agaknya
yang menjadi perdebatan di kalangan ahli fikih adalah menyangkut ‘iddah wanita
yang hamil yang di tinggal mati oleh suaminya. Baginya berlaku dua masa ‘iddah;
‘iddah melahirkan dan ‘iddah wafat. Jumhur ulama fikih menyatakan masa
‘iddahnya adalah sampai ia melahirka, sekalian kelahiran itu belum mencapai
waktu empat bulan epuluh hari. Bahkan menurut mereka, sekalipun wanita tersebut
melahirkan beberapa saat kematian suami. Alasan-nya adalah firman Allah surah
ath- talaq ayat 4 di atas.[5]
Akan
tetapi menurut Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas, ‘iddah yang pakai adalah yang
terlama. Jika wanita tersebut melahirkan sebelum masa empat bulan sepuluh
hari, maka ‘iddahnya tetap empat bulan sepuluh hari, jika setelah lewat empat
bulan sepuluh hari, tetapi wanita tersebut belum juga melahirkan maka ‘iddahnya
sampai ia melahirkan.Dalil yang mereka gunakan adalah surah al-baqarah/2:234.[6]
Dengan
asumsi bahwa dewasa ini khususnya masyarakat awam terkadang yang menyangkut
urusan syariat dalam hal ini mengenai bagaimana hak dan kewajiban seorang suami
terhadap istrinya dan begitupun sebaliknya pada saat telah jatuhnya talak (masa
iddah) mereka hanya berlandaskan pada kebiasaan-kebiasaan yang kemudian
berkembang di lingkungan domisili mereka. Padahal sama kita pahami bahwa dalam
hal semacam ini ajaran (islam) kita telah menguraikannya secara jelas dan
bahkan dalam UU No. 1 1974 tentang perkawinan juga telah dijelaskan tentang hal
tersebut. Memang tidak ada salahnya ketika kita juga mempergunakan adat
(kebiasaan) yang selama ini berkembang di dalam masyarakat akan tetapi alangkah
sempurnanya pemahaman kita ketika kita mampu mensingkrongkan antara hukum
islam, hukum perdata dan hukum adat. Berangkat dari dasar tersebut sehingga
kami berinisiatif untuk menyuguhkan makalah ini yang memuat penjelasan
“Iddah dalam Perspektif Islam” (Hak dan kewajiban Suami Istri dalam Masa
Iddah).
B.
Rumusan
Masalah
Adapaun
yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini ialah Bagaimanakah hak dan
kewajiban suami istri dalam masa iddah?
BAB II
PEMBAHASAN
Hak
dan Kewajiban Suami Istri Dalam masa Iddah.
Penting untuk diketahui bahwa perceraian atau talak raj’i (talak 1 & 2) belumlah memutuskan perkawinan dalam
makna yang sesungguhnya. oleh sebab itu, wanita yang telah di talak suaminya,
selama berada pada masa iddah tetap dipandang sebagai istri dari suaminya dan
suami dari istrinya yang memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak penuh
lagi.
Menurut hukum islam kewajiban memberikan nafkah kepada bekas istri disebutkan
dalam al-Qur’an surah al-Thalaq ayat (1) yang artinya:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah.
Jangan kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan)
keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang, itulah
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu
hal yang baru.
Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy seorang ulama besar dalam bidang tafsir dan
hadis, ayat inilah yang menjadi pegangan ulama dalam membagi talak menjadi
talak sunnah dan bid’ah. Talak sunnah (sunny)
adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri
yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Sedangkan yang
dimaksud talak bid’ah (bi’di) adalah
talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan
haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut.
Mencermati ayat di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat.
1. Bahwa menalak istri hendaklah dalam keadaan si istri suci
dan belum dicampuri, ini berarti talak sunni. Sedangkan menjatuhkan talak dalam
keadaan haid atau dalam keadaan suci tapi telah dijima’ (disetubuhi) maka
hukumnya haram atau dilarang.
2. Suami wajib memberikan tempat tinggal kepada istri yang
ditalak, selama mereka masih dalam iddah dan tidak boleh mereka keluar/pindah
ketempat lain kecuali mereka bersikap yang tidak baik.
3. Tempat tinggal tidak wajib diberikan kepada istri yang
tidak dapat rujuk lagi.
4. Tidak boleh dilkukan sebagai jalan keluar dari pergaulan
suami istri yang tidak aman.
Selanjutnya dalam surah Ath-Talaq ayat 6 disebutkan:
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan hati mereka dan jika mereka istri-istri yang sudah ditalak itu
sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka bersalin, kemudian
jika mereka menyusukan anak-anakmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarakanlah diantara segala sesuatu, dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.
Demikianlah
hukum islam telah islam telah menentukan dengan tegas tentang istri yang
ditalak suaminya. Ayat ini merupakan dasar bagi suami untuk memberikan tempat
tinggal bagi istri-istri yang ditalaknya, bahkan ayat ini memberikan pengertian
yang tegas tentang kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh suami seperti
memberikan biaya untuk menyusukan anak-anaknya.
Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada
bekas istri (pasal 41 UU No. 1 1974). Ketentuan ini dimaksud agar bekas istri
yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu
memenuhi kebutuhan kehidupannya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian,
suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas
istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut ialah:
1. Memberikan
mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla
al dhukhul;
2. Memberikan nafkah kepada bekas istri selama masa iddah,
kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in
atau nasyuz dan dalam keadaan
tidak hamil.
3. Melunasi mahar yang masih terutang dan apababila
perkawinan itu qabla al dhukul mahar
dibayar setengahnya;
Bagi
pegawai negeri sipil penentuan kewajiban untuk memberikan biaya penghidupan
oleh suami kepada bekas istri, diatur tersendiri dalam PP No. 10 tahun 1983
yang telah diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990 dimana pasal 8 ayat 1 menyebutkan
“Apabila perceraian terjadi diatas kehendak pegawai negeri sipil saja, maka ia
wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk kehidupan bekas istri dan
anak-anaknya”
Untuk
hak dan kewajiban seorang istri yang berada dalam masa iddah, khususnya talak raj’i diantarannya ialah:
1. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara
terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal
mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
2. Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain
mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq
ayat 1 yang artinya “janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar
kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan
ini jg dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.[8]
3. Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama
menjalani masa iddah.
4. Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan
nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tenru
tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap
tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
5. Wanita tersebut wajib berihdad[9] (iddah wanita
yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak mempergunakan alat-alat kosmetik
untuk mempercantik diri selama empt bulan sepuluh hari.
6. Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang
wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya.
Sedangkan
menurut Muhammad Baqir Al-habsyi ada empat hak perempuan yang
berada dalam masa iddah:
1. Perempuan dalam masa iddah akibat talak raj’i berhak
menerima tempat tinggal dan nafkah,[10] mengingat bahwa statusnya masih
sebagai istri yang sah dan karenanya tetap telah memiliki hak-hak sebagai
istri. Kecuali ia dianggap nusyuz (melakukan
hal-hal yang dianggap “durhaka”, yakni melanggar kewajiban taat kepada
suaminya) maka ia tidak berhak apa-apa.
2. Perempuan dalam masa iddah akibat talak ba’in (yakni yang
tidak mungkin rujuk) apabila ia dalam keadaan mengandung, berhak juga atas
tempat tinggal dan nafkah seperti di atas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kewajiban seorang suami jdalam masa
iddah (talak raj’i) yaitu memberikan tempat tinggal dan nafkah kepada istrinya.
Dan jika dia punya seorang anak maka dia juga berkewajiban membiayai anaknya.
Sedangkan yang menjadi hak dan kewajiban seprang istri dalam masa iddah ialah:
1. Tidak
boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan
cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan
bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
2. Dilarang
keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila tidak ada
keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan
pekerjaan yang keji dan terang. Larangan ini jg dikuatkan dengan beberapa hadis
Rasululullah SAW.
3. Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama
menjalani masa iddah.
4. Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan
nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tenru
tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap
tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
5. Wanita tersebut wajib berihdad (iddah wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak mempergunakan
alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan sepuluh hari.
6.
Wanita
yang berada dalam iddah talak raj’i ia
berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang
telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya.
B.
Saran
Kami
sadar bahwa apa yang ada ditangan pembaca saat ini jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kami senantiasa mengharapkan uluran tangan yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan makala ini dikemudian hari. Kami hanya berharap bahwa makala
ini mampu menjadi sebuah referensi yang ideal dalam hal pengkajian tentang Iddah
Dalam Perspektif Islam (Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Masa Idda) .
Terkhusus dalam menyelesaikan dilema-dilema yang sering muncul dalam kalangan
masyarakat awam mengenai masalah iddah khususnya
mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam masa iddah.
Mengingat bahwa penyelesaian masalah yang belum ada dasar
hukumnya bagi masyarakat awam merupakan hal yang lazim di telinga mereka,
tentunya untuk mengamalkannya memerlukan pemahaman yang cukup memadai agar
dalam pelaksanaannya kita tidak lagi mengalami kekeliruan, karena apabila kita
keliru dalam menafsirkan, niscaya dalam pelaksanakaannya tidak sempurnah.
Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat memudahkan kita, khususnya dalam
proses pengamalannya.
Mudah-mudahan
Allah Swt. Senantiasa meridhai segala aktivitas kita dan dapat bernilai ibadah
di sisisnya. Amin
Billahi Taufik Walhidayah
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
DAFTAR PUSTAKA
Doktor
mustofa Diil Bigha, Fiqih Syafii
(Terjemah St Tahdziib), (CV bintang Pelajar, 1978).
Dr. H.
Amiur nuruddin & Drs. Azhari Akmal Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (studi Kritis Perkembangan Hukum Islam
dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006).
Drs.
Murni Djamal (Dirjen Pembinaan Kelembagaan agama Islam Depag), Ilmu Fiqig jilid II cet. II, (Jakarta:
Proyek Pembinaan PTA IAIN, 1984).
H.
Sulaiman Rasyid, fiqih Islam, (Jakarta:
Attahiriyah, 1954).
Mohd.
Idris Ramulyo, hukum perkawinan islam:
Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1996).
Muhammad
sayyid Sabiq, fiqih sunnah Jilid III, (Jakarta:
Pena pundi Aksara, 2009).
Syaikh
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam al- Kamil, (Jakarta: Darus Sunnah, 2011).
Soerjono
Soekanto, Hukum Adat Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1983).
[1] Abdul Aziz Dahlan (ed) Ensiklopedi Hukum Islam,
Jilid II, (Jakarta: Icktiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 637.
[2] Abd al-Rahman al-Jaziri, Al-fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut:
Dar al-fikr, 1996)
[3] Ahmad Al-Ghundur, al-Thalaq al-syari’at al-Islamiyyah wal al-Qanun, (Mesir: Dar
al-Ma’arif, 1997), h. 291.
[4] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku bagi Umat Islam, (Jakarta: UI
Press, 1986), h. 122.
[5] Ibn Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid, Juz II, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t) h. 72. Lihat juga A.
Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1998), h. 313.
[6] Abdul Aziz Dahlan, op.cit, h. 639.
[7] Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. dan Drs. Azhari Akmal
Tarigan, M. Ag., Hukum Perdata Islam di
indonesia, studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974
samapai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 39.
[8] Menurut abdurrahman I do’i, wanita yang sedang
dalam mas iddah juga dilarang keluar rumah baik pada siang hari terlebih lagi
pada malam hari. Ulama Hanafi mengatakan, perempuan yang menjalani masa iddah
karena ditalak satu, talak dua atau talak tiga tidak diperbolehkan keluar rumah
baik siang maupun malam hari. Tentu saja berbeda bagi seorang janda yang telah
resmi bercerai. Sedangkan menurut Ulama Hambali, membolehkan wanita keluar
rumah pada siang hari, baik dia dalam iddah karena cerai ataupun ditinggal
amati suaminya. Semuanya ini diberlakukan tidak saja untuk keselamatan wanita
tersebut untuk menghindari fitnah. Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. dan Drs. Azhari
Akmal Tarigan, M. Ag., Hukum Perdata
Islam di indonesia, studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU
No. 1/1974 samapai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 250. Lihat juga Doktor
Mustofa Diibul Bigha, Fiqih Syafii
(Terjemahan St Tahdziib), (CV Bintang Pelajar, 1978), h. 414.
[9] Ihdad
berasal dari kata ahadda dan
terkadang bisa juga disebut al-hidad yang
diambil dari kata hadda. Secara etimologi bermakna al-man’u (larangan). Dalam makna istilah ihdad bermakna meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata
dan minyak wangi. Ada juga yang mendefenisikannya dengan menahan diri dari
mempercantik diri atau bersolek. Lihat, wahbah al-zuhaili, op.cit, h. 659.
Lihat juga masalah yang cukup menarik yang menyangkut ihdad wanita karir dalam,
Hafiz Anshary, “Ihdad wanita karir”, dalam, Problematika
Hukum Islam kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan hafiz Anshary (ed),
(Jakarta: Firdaus, 2002), h. 11-34.
[10] Doktor Mustofa Diibul Bigha, Fiqih Syafii (Terjemahan St Tahdziib),
(CV Bintang Pelajar, 1978), h. 413.
Sebagai rasa terima kasih kami kepada pelanggan/calon pelanggan, maka mulai tahun ini kami kembali mengadakan promo “Bagi-bagi Notebook Tanpa Diundi“.
BalasHapusPara pelanggan bisa mendapatkan hadiah berupa notebook, blackberry, handphone, ipod nano, flashdisk, dan bermacam-macah hadiah lainnya yang akan diberikan langsung setiap pembelian produk dengan paket dan harga produk sesuai yang telah kami tentukan minimal pembelian Rp50 ribu rupiah saja.
Berikut hadiah langsung yang bisa didapatkan oleh para pelanggan
- SAMSUNG GALAXY 5
- Flashdisk 16 Gb KINGSTON
- Flashdisk 32 Gb KINGSTON
- Flashdisk 80 Gb KINGSTON
- Flashdisk 100 Gb KINGSTON
- HP NOKIA LUMIA
- Flashdisk 130 Gb KINGSTON
- HP NOKIA ANDROID
- HP Qwerty HT MOBILE G10
- NEW IPHONE 6
- HP Qwerty HT MOBILE G10
- HP Qwerty IMO B720
- HP Qwerty HT MOBILE G10
- HP Qwerty IMO B720
- APPLE Ipod Nano
- HP Qwerty IMO B720
- SAMSUNG TABLET
- BLACKBERRY Curve
- SONY TABLET
- Netbook ACER Aspire One
- Notebook ACER Aspire 4740
- BLACKBERRY Curve
- Notebook ACER Aspire 4740
- TOSHIBA Satellite L510
Buruan sebelum promo berakhir!
JANGAN LUPA ..... DIBAWAH INI UTK MENDPTKAN LEPTOP/NOTEBOOK GRATIS
>>> MAU DONG? >>>